Telepon dari Istana
Cerpen
WA Wicaksono
Menjelang pelantikan sang pemenang pemilihan presiden (pilpres) sebagai Presiden terpilih Republik Indonesia yang baru, suasana politik negara terasa semakin mendebarkan. Tidak hanya di arena publik, tetapi juga di ruang-ruang pribadi para tokoh terkemuka. Mereka yang merasa telah memberikan sumbangsih—baik dalam bentuk dukungan moril, politis, bahkan finansial—menunggu-nunggu dengan penuh harap. Dering telepon dari istana sontak menjadi suara yang paling didamba dan dinantikan, suara harapan akan betapa nyamannya kursi empuk yang membanggakan di kabinet.
Profesor Maruk adalah salah satu dari mereka. Apalagi sebagai seorang akademisi terkemuka, dia telah banyak bersuara lantang di media, mendukung sang Presiden terpilih dengan penuh totalitas. Ketika kampanye tengah berlangsung, Maruk bak seorang jenderal yang memimpin pasukan opini publik, menggiring narasi-narasi yang memenangkan pertarungan politik sang calon presiden. Nah, sekarang, tibalah waktunya bagi Maruk untuk menagih janji tak tertulis yang seharusnya diberikan padanya: sebuah kursi menteri.
Dus, hari itu, sejak pagi buta, Profesor Maruk sudah bersiap, berjaga di ruang tamunya. Kemeja putih bersetrika rapi, dasi abu-abu terikat sempurna di leher, meski tak saat itu tak seorang pun ada di rumah kecuali dirinya sendiri. Di tangannya, ada secangkir kopi hitam pekat yang tak jua diminumnya; dadanya dipenuhi dengan debar dan kepalanya terus menengok ke arah telepon rumah yang sepertinya masih saja diam sejak pagi.
“Pasti hari ini,” gumamnya, mencoba menenangkan debar jantungnya yang semakin kencang.
Dan benar, saat siang menjelang, akhirnya telepon itu pun berdering. Sontak Maruk meloncat kaget dari kursinya, nyaris menumpahkan kopi yang sudah mulai dingin. Dengan tangan gemetar, ia pun mulai mengangkat gagang telepon.
“Halo, apa benar ini Profesor Maruk?” suara di seberang terdengar formal namun ramah.
“Iya, benar. Ini dari mana, ya?”
“Oh, kami dari istana, Prof. Apakah profesor punya waktu sejenak, mungkin tiga sampai lima menit, untuk mendengar maksud dan tujuan kami menelepon?”
“Siap!!! Tentu! Saya ada waktu. Silakan, silakan!” jawab Maruk penuh semangat seraya tersenyum lebar. Inilah momen yang ditunggunya.
“Baik, Prof. Kami sangat senang bisa menghubungi Anda hari ini. Kami ingin menyampaikan kabar baik bahwa profesor mendapat kepercayaan istimewa dari istana.”
Wajah Maruk memerah. Ah, akhirnya, pikirnya, saat itu tiba juga. Kakinya mulai goyah oleh rasa haru.
“Siap!!! Terima kasih! Saya sangat berterima kasih,” katanya, suaranya sedikit bergetar.
“Baik, Prof. Setelah kami survei berdasarkan karir, prestasi, dedikasi, dan profesionalisme profesor dalam menjalankan peran sebagai akademisi partisan yang terkemuka, kami ingin memberikan penawaran istimewa ini.”
“Penawaran?” sejenak Maruk mengernyitkan dahi, sedikit bingung, tapi ia tetap mendengarkan.
“Betul, Prof. Kami menawarkan kepada Profesor pemberian paket DP nol persen dan bebas bunga cicilan selama tahun pertama, apabila Profesor berminat mengambil paket properti premium yang kami bangun saat ini.”
Mendadak, detik itu juga, senyum di wajah Maruk lenyap seketika. “Tunggu sebentar. Properti? Katanya ini dari istana?” tegasnya tak percaya.
“Iya, betul, Prof. Ini dari Istana Real Estate, developer properti ternama di Ibukota Nusantara Prof.”
“Dhuuuarrrr!!”
Dunia Profesor Maruk tiba-tiba berputar. Pandangannya kabur, tubuhnya lunglai. Dengan gemetar, lemas ia meletakkan gagang telepon di meja, sebelum jatuh terduduk lunglai di sofa.
Harapan akan panggilan menjadi menteri buyar sudah. Ternyata bukan panggilan dari Istana Negara yang ia terima, melainkan dari “istana” lainnya. Dalam lemas, Maruk hanya bisa tertawa getir. Ternyata, menjadi orang terkemuka tak hanya berhasil mendekatkan diri pada kekuasaan semata, tetapi juga pada telemarketer real estate yang sibuk menawarkan dagangannya.
###