Seorang nenek bersama cucunya di salah satu lokasi penemuan kasus aktif TB milik MSF di Tondo, Manila. Filipina, Maret 2023. © Ezra Acayan
Seorang nenek bersama cucunya di salah satu lokasi penemuan kasus aktif TB milik MSF di Tondo, Manila. Filipina, Maret 2023. © Ezra Acayan

Terlalu banyak anak dengan TB yang tidak dites atau diobati, sementara banyak negara gagal menghadapi tantangan awal: memperbarui pedoman kebijakan agar selaras dengan rekomendasi WHO.

JAKARTASATU.COM – JENEWA, Médecins Sans Frontières/Doctors Without Borders (MSF) merilis laporan baru (15/10) yang mengungkapkan bahwa anak-anak dengan tuberkulosis (TB) masih terabaikan dalam upaya global memberantas penyakit ini.
Laporan bertajuk TACTIC: Test, Avoid, Cure TB in Children itu meninjau pedoman kebijakan TB di 14 negara* dengan angka TB tinggi dan menemukan bahwa banyak negara masih lambat menyelaraskan kebijakan nasional mereka dengan pedoman terbaru dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
MSF mendesak semua negara untuk memperbarui pedoman nasional agar selaras dengan rekomendasi WHO dalam perawatan TB pada anak. Selain itu, DOctors Without Borders mendorong negara-negara untuk mengalokasikan sumber daya yang diperlukan, menyusun rencana jelas dengan timeline pelaksanaan kebijakan, serta memperluas akses terhadap pencegahan, diagnosis, dan pengobatan TB pada anak. MSF juga meminta lembaga donor internasional dan pendukung teknis untuk menyediakan dana yang memadai demi mendukung reformasi dan implementasi kebijakan TB pada anak.
“TB bisa disembuhkan, termasuk TB pada anak. WHO telah memperbarui kebijakan untuk membantu negara-negara memberikan perawatan terbaik bagi anak dengan TB, salah satu penyakit menular paling mematikan di dunia,” ujar Stijn Deborggraeve, Diagnostics Advisor di MSF Access Campaign.
“Sayangnya, banyak negara tertinggal dalam menerapkan solusi untuk mendeteksi, mencegah, dan mengobati TB pada anak. Kami mendesak pemerintah, donor, dan lembaga teknis untuk menghentikan status quo mematikan ini dan meningkatkan upaya agar anak-anak bisa mendapat diagnosis dan pengobatan tepat waktu. Sikap lamban tak bisa dibiarkan lagi—setiap keterlambatan berarti lebih banyak nyawa anak melayang sia-sia, ” imbuh Stijn Deborggraeve, Diagnostics Advisor MSF.
Dari 14 indikator kebijakan yang diukur dalam laporan MSF, hanya satu negara yang sepenuhnya selaras dengan pedoman WHO. Tujuh negara lainnya memiliki keselarasan lebih dari 80%, sementara empat negara masih di bawah 50%. Kesenjangan terbesar ditemukan pada kebijakan diagnosis TB anak. Misalnya, hanya 5 dari 14 negara yang sudah menyesuaikan pedoman untuk memulai pengobatan TB pada anak jika gejala mengindikasikan penyakit tersebut, meskipun hasil tes bakteriologis negatif. Selain itu, dari 5 negara tersebut, hanya 4 yang memiliki sumber daya memadai untuk menerapkan pedoman secara efektif.
WHO memperkirakan sekitar 1,25 juta anak dan remaja (0-14 tahun) menderita TB setiap tahun, namun hanya setengahnya yang berhasil terdiagnosis dan mendapatkan pengobatan.
Berdasarkan bukti ilmiah terbaru, WHO merevisi panduannya pada 2022 terkait penanganan TB pada anak dan remaja, dengan beberapa rekomendasi utama. Salah satunya adalah penggunaan algoritme pengambilan keputusan yang memudahkan diagnosis hanya berdasarkan gejala, tanpa pemeriksaan laboratorium. Selain itu, WHO juga menawarkan rejimen oral jangka pendek untuk mengobati dan mencegah TB pada anak-anak. Jika rekomendasi ini diterapkan dengan baik, diagnosis dan kualitas perawatan bagi anak dengan TB akan meningkat secara signifikan.
“Sejak kami mulai menerapkan rekomendasi WHO untuk anak-anak di Distrik Bombali, kami makin sering menemukan dan menangani anak-anak dengan TB,” ujar Joseph Sesey, Clinical Officer Doctors Without Borders di Makeni, Sierra Leone.
“Rekomendasi baru ini membantu kami mencegah salah diagnosis pada anak. Dulu, dokter ragu memulai pengobatan TB tanpa hasil tes positif, tapi sekarang mereka lebih yakin mendiagnosis TB hanya berdasarkan gejala klinis dengan mengikuti rekomendasi WHO. Saya melihat penurunan signifikan dalam angka kematian anak dengan TB di banyak pusat layanan kesehatan.”
Namun, usaha ini tidak berhenti hanya pada reformasi kebijakan. Misalnya, saat ini, WHO merekomendasikan rangkaian rejimen oral baru yang lebih pendek untuk pengobatan TB yang rentan terhadap obat (drug-susceptible/DS) dan TB yang resistan terhadap obat (drug-resistant/DR-TB) pada anak-anak. Sayangnya, peluncurannya di berbagai negara masih berjalan lambat.
Selain itu, meskipun obat TB yang baru dan ramah anak tersedia untuk DS dan DR-TB, obat ini tidak selalu dapat diakses di semua negara. Afganistan, Republik Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Guinea, India, Mozambik, Niger, Nigeria, Pakistan, Filipina, Sierra Leone, Somalia, Republik Sudan Selatan, Uganda.
“Akibatnya, anak-anak dengan TB terpaksa mengonsumsi obat yang dihaluskan dan pahit tanpa dosis yang sesuai dengan berat badan mereka, yang membuat mereka berisiko tinggi mengalami efek samping dan kegagalan pengobatan. Pengabaian ini harus diakhiri sekarang. Kami menyerukan kepada pemerintah, donor, dan organisasi kesehatan global untuk segera bertindak, memastikan tidak ada anak yang meninggal atau menderita penyakit yang dapat dicegah dan diobati seperti TB. Alat dan pengobatan yang kita miliki harus menjangkau anak-anak yang paling membutuhkannya—sekarang juga,” jelas Dr Cathy Hewison, TB Working Group Head MSF. |WAW-JAKSAT