ilustrasi AI | WAW
ilustrasi AI | WAW

Jas Buka, Iket Blangkon

Cerpen
WA Wicaksono
Wowo menatap santai cermin yang terpampang di ruang gantinya.Ia tersenyum setengah hati seraya membetulkan jasnya yang mengkilap. “Ini kali kelima, Wo,” gumamnya pada diri sendiri, suara lirihnya tenggelam di antara suara sorak-sorai pendukung di luar. “Kelima kali mencoba, setelah keempat kali kalah…”
Laga sebelum ini, dua kali Wowo kalah telak dari Mukidi, presiden petahana yang karismanya merajai layar televisi dan hati rakyat, setidaknya sebagian dari mereka. Kini, Mukidi sudah berada di pengujung masa jabatannya, dan Wowo –daripada kembali merasakan pahitnya oposisi—- memutuskan untuk bergabung dengan koalisi Mukidi. Sebuah keputusan yang oleh sebagian orang dianggap cerdik, dan oleh sebagian lagi dianggap pengecut.
“Biarin lah, asal enggak jadi pecundang abadi!” ucap Wowo setiap kali ditanya oleh orang-orang yang mempertanyakan integritasnya. Tapi diam-diam, ia masih punya impian. Satu langkah maju di atas panggung politik yang dipenuhi tikungan licin dan jalan berlubang.
Maka, ketika Pemilihan Presiden kembali digelar, kali ini Wowo memutuskan untuk tetap bertanding lagi. Kali ini, dengan senjata rahasia: Samsul, putra kesayangan Mukidi, dijadikan calon wakil presidennya. Sebuah koalisi antara mantan lawan dan pewaris tahta. Wowo tahu, rakyat mulai lelah dengan Mukidi dan janji-janji manis yang lebih manis dari kenyataan pahit sehari-hari.
“Rakyat akan berpikir aku punya rencana,” batin Wowo, suara hatinya sarat dengan keyakinan strategis. “Mereka akan percaya bahwa aku gabung dengan Mukidi hanya untuk menunggu waktu yang tepat. Aku akan bawa mereka kembali ke idealisme, ke visi misi oposisi yang lebih peduli pada rakyat!”
Dan benar saja, kampanye Wowo memikat hati rakyat. Mereka yang masih haus ataupun yang telah lelah dengan pemerintahan Mukidi mulai memeluknya sebagai harapan baru. Euforianya terasa di mana-mana: di pasar, di warung kopi, bahkan di grup WhatsApp keluarga besar. Meme-meme yang menggambarkan Wowo sebagai pahlawan yang akan menyelamatkan negeri bertebaran bak bunga-bunga di musim semi.
“Wowo untuk seluruh golongan rakyat!” “Perubahan di depan mata!” “Akhirnya, hadir calon yang benar-benar peduli!”
Rakyat berbondong-bondong ke bilik suara, yakin bahwa kemenangan Wowo akan menjadi titik balik sejarah. Dan benar, ketika hasilnya diumumkan, kemenangan telak ada di tangan Wowo.
Sejenak, rakyat berpesta. Pesta yang meriah tapi pendek umurnya, seperti kembang api yang menyala terang sesaat, lalu lenyap.
————————–
Bulan pertama masa kepemimpinan Presiden Wowo berlalu, dan rakyat mulai bertanya-tanya. Di mana janji perubahan? Di mana reformasi yang dijanjikan? Di mana visi misi yang lebih pro-rakyat?
Lalu muncul kebijakan pertama Wowo —-dan itu sangat familiar. Seperti déjà vu politik, rakyat menyadari bahwa kebijakan itu tak lain dan tak bukan adalah kelanjutan dari kebijakan rezim Mukidi. Bahkan bahasa yang digunakan dalam pidato-pidato Wowo terdengar seperti rekaman ulang dari pidato Mukidi. Rakyat mulai curiga, tetapi mereka masih mencoba bersabar. Mungkin ini transisi, pikir mereka. Mungkin Presiden Wowo butuh waktu.
Namun, sebulan menjadi dua, lalu tiga. Kebijakan demi kebijakan datang, dan semuanya, tanpa kecuali, adalah pengulangan dari pemerintahan sebelumnya. Program subsidi? Sama. Kebijakan pembangunan? Sama. Retorika janji-janji palsu? Sama.
“Lah, ini mah kayak buka jas terus pakai iket blangkon,” keluh seorang tukang ojek online di pinggir jalan. “Ganti tampilan doang, isinya mah sami mawon!”
Dan memang itulah yang terjadi. Pemerintahan Wowo tidak lain adalah perpanjangan dari pemerintahan Mukidi. Rakyat yang tadinya berharap akan perubahan mulai merasakan dinginnya kekecewaan. Mereka sadar, Wowo tak lebih dari sekadar penerus, bukan penyelamat. Bukan pembawa angin perubahan, tapi penjaga angin lama yang tak pernah berubah.
Wowo, yang dahulu dielu-elukan sebagai simbol perubahan, kini dicap sebagai simbol status quo. Aliansi dengan Samsul tak lebih dari akal-akalan politik, dan rakyat yang tadinya percaya bahwa Wowo punya rencana rahasia harus menelan pahitnya kenyataan. Semua janji, semua euforia, hanyalah fatamorgana.
———————————
Di penghujung masa pemerintahannya, ketika sorot lampu sudah mulai redup, Wowo kembali ke ruang ganti yang sama, kali ini dengan pandangan mata yang jauh lebih kosong. Ia menatap lagi cermin itu, kali ini tidak dengan senyum, melainkan dengan kerut di kening.
“Mungkin aku memang tak pernah berubah,” katanya pada diri sendiri. “Mungkin aku tak lebih dari jas yang dibuka, lalu digantikan dengan blangkon. Isinya tetap sama.”
Di luar, suara rakyat masih terdengar samar-samar, tapi tak lagi riuh. Mereka yang dulu percaya, kini sudah pasrah. Mungkin di pemilu berikutnya akan ada kandidat baru, mungkin akan ada janji baru, tapi di dalam hati mereka, mereka tahu: dalam politik, sering kali yang berubah hanyalah baju, sementara isi kepala tetap sama saja.
Dan begitulah cerita Wowo, presiden yang berharap menjadi agen perubahan, tapi akhirnya hanya menjadi bayang-bayang dari yang sebelumnya.