Akhir Itu Tiba Juga
Cerpen
WA Wicaksono
Langit pagi itu, cerah. Sepotong pagi yang rasanya seperti biasa saja, kecuali untuk satu orang. Di istana, sang Presiden duduk di kursi empuknya yang dulu terasa seperti singgasana para dewa. Kini? Hanya seonggok kursi kulit yang mengingatkan dia bahwa segala yang empuk suatu hari bisa menyesakkan.
“Akhirnya tiba juga,” gumamnya sambil tersenyum tipis, tetapi tak ada siapa-siapa yang bisa menyaksikan senyuman itu, kecuali potret dirinya di tembok sebelah.
Selama sepuluh tahun, ia telah menapaki jalan kekuasaan yang penuh dengan kilatan sorotan kamera dan pujian—meski, tentu, disertai juga dengan sumpah serapah yang disembunyikan di balik masker senyum sopan para menteri, aktivis, dan rakyat. Jalan tol ribuan kilometer yang dulu ia banggakan kini menjadi seperti jalan kenangan, tidak pernah tuntas tanpa cacian, atau lebih buruk lagi, tanpa lubang-lubang yang terus diperbaiki. Ah, jalan yang penuh mimpi.
“Jalan ke surga atau ke neraka?” pikirnya. Tergantung siapa yang bertanya.
Ia memandang jauh ke utara, membayangkan sebuah kota yang seharusnya menjadi simbol kebangkitan nasional—IKN, ibu kota baru yang katanya akan membawa peradaban bangsa ini ke kancah dunia. Namun, di balik segala gedung megah yang belum rampung, ia tahu ada ribuan kritik yang menyebut proyek itu sebagai monumen kegagalan. Batu bata utopis yang dipaksa berdiri di atas janji-janji utang luar negeri.
Tetapi, bukankah sejarah selalu menyisakan bangunan yang tak selesai? Piramida-piramida ambisi, meskipun tampak gagah di luar, tetap menjadi makam di dalam. Mungkin begitu juga nasibnya.
Dan kereta cepat itu—ah, betapa ia mendengar desis suara roda baja itu setiap malam di telinganya. Bukan, bukan kereta yang menderu menuju Bandung yang membangunkannya, tetapi kritik pedas yang lebih cepat dari kereta manapun. “Pembangunan ini untuk siapa?” tanya para kritikus sambil melirik ke arah bangku VIP yang hanya bisa diduduki para elite. Sementara, mereka yang berteriak dari pinggir rel, terhimpit oleh janji-janji.
Lucu. Ironis. Sarkas. Tetapi itulah yang ia pelajari dalam sepuluh tahun ini—bahwa pencapaian itu relatif. Satu buah kunci sukses bisa menjadi pintu masuk kebanggaan atau malah pintu jebakan tikus untuk kritik. Ribuan kilometer jalan tol bisa menjadi monumen kebanggaan nasional, tetapi di mata rakyat yang masih terjebak macet di kampung halaman, itu tidak lebih dari ilusi aspal.
Presiden menoleh ke deretan baliho yang berjajar di sepanjang jalan. “Terima kasih, Bapak Presiden,” begitu bunyinya. Namun mata sang presiden menangkap ironi di balik huruf-huruf itu. Pujian yang tak diinginkan, yang lebih terdengar seperti ejekan. Apakah mereka benar-benar berterima kasih? Ataukah baliho itu hanyalah pertunjukan lain yang disutradarai oleh penguasa media dan birokrasi?
Ah, politik memang panggung sandiwara. Bahkan baliho pun bisa menjadi aktor utama. Sementara rakyat menjadi penonton yang tak pernah ditanya apakah mereka mau bayar tiket masuk.
Sepuluh tahun, pikirnya. Sepuluh tahun yang panjang dan sekaligus singkat. Ia ingat betapa megahnya janji-janji kampanye itu dulu—reformasi KPK, pemberantasan nepotisme, demokrasi yang lebih sehat. Kini, ia hanya bisa tertawa kecil. KPK? Seperti gajah yang dikebiri, tak lagi punya taring. Nepotisme? Ah, siapa yang bisa melawan naluri manusia untuk melindungi keluarganya, meskipun itu harus mengorbankan negeri.
Ia bangkit dari kursinya, melangkah menuju jendela. Di kejauhan, suara riuh masyarakat terdengar seperti bising lalat. Ada yang menangis, ada yang bersorak. Ada yang kecewa, ada yang bersyukur. Ada yang tak peduli, ada yang sibuk menghitung utang negara yang kian membengkak. Semua campur aduk, bagai simfoni yang tak pernah terselesaikan.
Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang jelas: akhirnya, jabatan itu tiba pada akhirnya. Sebuah kesimpulan yang tidak ia cari, tetapi juga tidak bisa ia hindari. Jabatan presiden bukanlah takhta para dewa. Itu hanya sebuah posisi yang dipinjamkan oleh waktu. Dan seperti halnya waktu, tak ada yang abadi.
“Kita semua terjebak dalam pusaran sejarah,” gumamnya, “menjadi sosok yang akan dikenang atau dilupakan.”
Ia tersenyum untuk terakhir kalinya. Akhirnya tiba juga—bukan kemenangan, bukan kekalahan. Hanya akhir yang datang, entah disambut atau tidak.
Di luar, baliho-baliho terus mengibar di bawah matahari. Tepat di sampingnya, terlihat baliho baru yang menampilkan wajah presiden berikutnya, penuh dengan janji-janji baru yang entah akan berakhir dengan tepuk tangan atau tawa pahit.
###