Aliran Sesat Masjid Warisan Raja Jawa
Cerpen
WA Wicaksono
Pagi itu, HuhuHaha tersesat di sebuah daerah antah berantah. Kabut masih mengambang di sela-sela bukit dan langit biru tua, mereka belum sepenuhnya menyerah pada siang. HuhuHaha pasrah saat mendapati dirinya tak tahu jalan pulang, namun ia tetap teringat: ini hari Jumat. Tak ingin ketinggalan kewajiban shalat Jumat meskipun tengah menjadi musafir, ia pun bergegas mencari masjid yang bisa ditemukan di sekitarnya.
Ternyata tak perlu Waktu lama untuk menjelajah, tibalah ia di sebuah masjid yang besar. Sungguh megahnya bukan main. Laiknya harta karun yang tersembunyi, masjid itu berdiri kokoh dengan batu-batu hitam yang mengingatkan kita pada bangunan candi-candi di zaman Majapahit. Ada ukiran bulan sabit, bintang dan bunga teratai di tiap sudut. Kubahnya, tak berbentuk seperti masjid-masjid pada umumnya, melainkan lebih mirip sebuah mahkota kerajaan Jawa kuno. Seketika hati HuhuHaha berseru, “Wah luar biasa, masjid apa ini?”
Menetapi niat lurusnya, HuhuHaha pun melangkah mantap ke dalam masjid. Ia siap meneladani sunnah Rasul untuk menyegerakan ke masjid di hari Jumat. Suasana masjid masih agak sepi, setelah berwudhu, ia pun segera memilih duduk di barisan depan, bersandar pada tiang yang kokoh. Selesai shalat sunah, ia berdzikir, tenang dalam lirihnya, khusyu dalam sunyi hingga tiba-tiba…
Bilal berdiri di depan mimbar dan langsung mengumandangkan iqamah! “Tanpa adzan? Tanpa khotbah?” batin HuhuHaha tercekat. Ia ingin protes, tapi tenggorokannya kering. Alisnya berkerut. Dalam gundah, ia bertanya-tanya dalam hati, “Masjid aliran apa ini? Mengapa shalat Jumat langsung dimulai tanpa adzan dan khutbah terlebih dahulu?”
Meski ragu, ia memaksakan diri ikut mendirikan shalat. Namun sepanjang rakaat, pikirannya melayang-layang, tak bisa fokus. Bayangan masjid yang dianggapnya menyeleweng itu terus memenuhi benaknya. “Masjid aliran apa ini?” pikirnya, seraya menyelesaikan salam terakhir dengan sedikit ragu.
Tak kuasa menahan rasa penasaran yang mengganjal di benaknya, HuhuHaha pun akhirnya memberanikan diri untuk berbisik pada jamaah satu shaft yang ada di sebelahnya, seorang jamaah tua yang tampak damai dan tenang. “Pak, maaf, masjid ini menganut Islam aliran apa ya?” tanyanya hati-hati.
Bapak tua berwajah damai itu pun menatap HuhuHaha dengan raut muka sedikit bingung. “Ahlul Sunnah wal Jamaah, Mas,” jawabnya lirih.
“Oh, begitu ya, Pak.” HuhuHaha mengangguk-angguk walau masih bingung. “Tapi kenapa tadi langsung iqamah tanpa adzan dan khutbah terlebih dulu Pak? Jadinya kan gak sesuai syariat Islam Pak” imbuhnya takut-takut.
Sontak Bapak itu pun terkekeh lepas kendali. Sambil menepuk-tepuk pundak HuhuHaha seraya tersengal-sengal menahan tawa, ia berujar “Lha, adzan sama khotbahnya kan tadi sudah Mas! Cuma masnya Waktu itu tidur nyenyak bersandar di tiang itu hehehe…”
Wajah HuhuHaha seketika pucat padam. Sebagian jamaah yang mendengar hal itu ikut menahan tawa. Ada yang tersenyum simpul, ada yang menundukkan kepala menahan cekikikan. HuhuHaha menunduk, menahan malu yang luar biasa. Rupanya, dalam kedamaian zikir tadi, dirinya terlelap!
“Ah, sudah, Mas, yang penting niatnya baik,” tenang bapak itu dengan senyum lebar. Dan pada detik itu, HuhuHaha pun mendapat pelajaran berharga bahwa tidak semua yang tampak aneh di luar selalu berbeda di dalam. Kadang, masalahnya ada pada kita, bukan mereka.
###