Serangan Fajar: Prank Politik Terkejam
Cerpen
WA Wicaksono
Di sebuah gang sempit bernama Gang Luber, malam sebelum pemilihan kepala daerah selalu lebih hidup daripada malam tahun baru. Warung Mbok Tumplek di ujung gang mendadak jadi markas utama para pengincar serangan fajar. Tiga serangkai penghuni gang itu, si Pang, Ngarep, dan Menthes, sudah bercokol di kursi plastik warna-warni, menyesap kopi hitam yang rasanya lebih mirip air bilasan wajan.
“Besok pagi, pokoknya aku kudu nraktir sekeluarga nonton wayang kulit kalau dapet serangan fajar,” kata Menthes dengan semangat, wajahnya bersinar bak rembulan purnama yang sedang lepas baterai.
“Lha, kalau aku langsung depe kulkas. Biar nanti kalau ada tamu bisa nyuguh es batu, nggak cuma air sumur,” timpal si Pang, lelaki tambun dengan kumis tipis yang mirip tanda tangan dokter.
“Bodoh amat sama kulkas atau wayang kulit. Kalau aku dapet serangan fajar, mau langsung beli nasi padang porsi jumbo. Bosan makan mie instan mulu,” kata Ngarep, matanya berbinar seperti anak kecil melihat balon.
Malam itu, strategi disusun. Mereka sepakat pura-pura tidur di bale-bale depan rumah masing-masing agar si pembagi amplop, yang sering disebut Sang Penyantun Suara, tidak salah sasaran.
Fajar Menyingsing. Ketika ayam jantan baru sempat melatih pita suara, ketiganya sudah bersiap di posisi masing-masing. Menthes bahkan membawa baskom kosong, siapa tahu amplopnya jatuh berceceran. Ngarep menyelipkan kotak rokok bekas di bawah bantal sebagai tempat penyimpanan dadakan.
Namun, detik berlalu, menit melaju, bahkan burung gereja sudah mulai ngobrol di dahan pohon jambu, si Penyantun Suara tak juga datang. Menthes mulai gusar, “Apa jangan-jangan mereka lupa sama kita?”
“Mana mungkin lupa. Kita ini rakyat strategis!” ujar Pang, nada suaranya penuh optimisme absurd.
Tepat saat mereka hampir menyerah, datanglah seorang pria ceking berwajah ndeso, memakai kemeja putih lengan panjang yang digulung, berjalan santai sambil mengantongi sesuatu. Itu dia, Sang Penyantun Suara! Wajah ketiganya langsung berseri-seri seperti korban endorse di media sosial.
Namun, kegembiraan mereka mendadak sirna saat amplop yang diberikan terasa terlalu tipis. Ketika mereka membukanya, isinya hanya selembar kuitansi bertuliskan: “DIPINJAM UNTUK SAAT INI. DIBAYAR NANTI. MOHON PENGERTIAN.”
“Lho, lho, ini maksudnya apa, Pak?” tanya Ngarep, bingung setengah marah.
Sang Penyantun Suara tersenyum bijak seperti dosen yang baru selesai menerangkan soal utang negara. “Begini, bapak-bapak. Kalau proyek infrastruktur negara saja bisa dibiayai pakai utang, masak beli suara rakyat nggak boleh dihutang? Logika ekonominya jelas, toh?”
“Jelas apanya?!” bentak Menthes, mukanya merah seperti tomat busuk.
“Tapi tenang,” lanjut si pria sambil tetap tersenyum. “Nanti kalau calon kami menang, angpao bapak-bapak langsung lunas. Ya, anggap saja ini investasi jangka pendek.”
Ketiganya saling pandang. Ngarep akhirnya tertawa getir. “Investasi jangka pendek? Kalau nanti kalah gimana?”
Pria itu mengangkat bahu. “Yah, namanya juga risiko usaha.”
Tak lama setelah pria itu pergi, dari kejauhan terdengar suara nyaring memanggil: “Pak! Pak! Tunggu! Amplopnya ketuker, Pak!”
Seorang bocah kecil mengejar dengan amplop tebal di tangannya. Ternyata, amplop berisi uang betulan tertukar dengan kuitansi kosong.
“Beneran amplopnya ketuker?” tanya Menthes, matanya berbinar.
Bocah itu mengangguk. Tapi bukannya menyerahkan amplop tebal itu, si bocah malah memungut amplop kuitansi dari tangan mereka, lalu lari secepat kilat.
Tinggallah si Pang, Ngarep, dan Menthes memandang kosong ke arah amplop yang pergi, menyadari mereka baru saja jadi korban prank politik terkejam abad ini. []