Kemenangan Kosong
Cerpen
WA Wicaksono
Di tengah hiruk pikuknya Pemilihan Kepala Daerah serentak di negeri Wakanda, pada sebuah kota yang terletak di lembah pegunungan, persaingan politik berlangsung dengan sangat unik. Tahun ini, kota kecil bernama Sukakarsa menghadapi sebuah pemilihan kepala daerah yang berbeda dari biasanya. Bukan karena banyaknya kandidat, melainkan sebaliknya— kandidatnya hanya ada satu calon.
Pak Surya, satu-satunya kandidat, berdiri tegak di atas panggung, tersenyum lebar, dan melambai-lambaikan tangannya kepada kerumunan yang bertepuk tangan dengan setengah hati. Pak Surya, seorang pria berusia setengah baya dengan perut yang mulai membuncit, adalah calon tunggal yang didukung oleh semua partai politik. Semua partai besar, kecil, baru, lama, hingga partai yang hanya ada di KTP, kompak mendukungnya. Tentu saja, dukungan itu tidak datang tanpa alasan. Pak Surya dikenal sebagai orang yang “mampu menjalin hubungan baik”, istilah halus untuk “terampil dalam membagi-bagi kue kekuasaan”.
Namun, kota Sukakarsa bukanlah kota yang buta atau tuli. Masyarakatnya telah menyaksikan, berulang kali, bagaimana janji-janji kampanye yang diucapkan dengan lantang sebelum pemilihan, lenyap seperti asap setelah kemenangan diraih. Mereka lelah dengan sandiwara yang dimainkan oleh para elite politik, yang seolah-olah berpura-pura peduli dengan nasib rakyat.
Pada suatu malam yang dingin, di sebuah warung kopi kecil di sudut kota, beberapa warga berkumpul. Mereka membahas satu-satunya pilihan yang mereka miliki di surat suara: Pak Surya atau Kotak Kosong.
“Sudah cukup kita dipermainkan. Kita harus beri pelajaran,” kata Pak Hasan, seorang pensiunan guru, dengan nada tegas.
“Tapi, bagaimana caranya? Kita hanya punya satu calon!” tukas Bu Lina, penjual sayur yang ikut dalam perbincangan itu.
“Kita pilih Kotak Kosong,” jawab Pak Hasan, suaranya penuh determinasi. “Kita tunjukkan bahwa kita tidak akan menerima calon yang dipaksakan oleh para politisi busuk itu.”
Ide ini menyebar dengan cepat, seperti api yang merambat di padang rumput kering. Masyarakat Sukakarsa mulai berdiskusi, dari pasar hingga mesjid, dari sekolah hingga kantor. Semakin hari, semakin banyak orang yang setuju dengan rencana itu. Mereka ingin memberikan pesan yang jelas: jika pilihan yang ada hanya antara kebohongan dan kehampaan, mereka lebih memilih kehampaan.
Hari pemilihan pun tiba. Pak Surya datang ke TPS dengan penuh percaya diri, mengenakan jas terbaiknya dan ditemani oleh rombongan pengurus partai yang berwajah angkuh. Semua orang yakin, termasuk dirinya sendiri, bahwa kemenangannya sudah di tangan. Lagipula, siapa yang mau memilih Kotak Kosong? Apa yang bisa ditawarkan oleh kehampaan?
Namun, ketika malam menjelang dan penghitungan suara dimulai, suasana mulai berubah. Pak Surya yang tadinya duduk santai, kini mulai merasa gelisah. Angka-angka yang masuk ke layar penghitungan suara menunjukkan sesuatu yang tak terduga. Kotak Kosong, yang awalnya dipandang sebelah mata, perlahan tapi pasti, mulai memimpin.
Di ruang penghitungan suara, ketegangan terasa menggigit. Para pengurus partai yang tadinya bersorak gembira, kini terdiam dengan wajah pucat. Sementara itu, di sudut kota, di rumah-rumah sederhana dan di warung kopi, warga berkumpul menatap layar televisi dengan senyum yang terus melebar.
Dan akhirnya, pengumuman resmi pun keluar: Kotak Kosong menang!
Di ruangannya, Pak Surya terduduk lemas. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Dia, yang didukung oleh semua partai, kalah oleh sesuatu yang bahkan tidak nyata, sesuatu yang tidak bisa berbicara, tidak bisa memimpin—sesuatu yang kosong. Di matanya, kekalahan ini adalah sebuah penghinaan, bukan hanya terhadap dirinya, tapi terhadap seluruh sistem politik yang telah membesarkannya.
Namun bagi warga Sukakarsa, ini adalah kemenangan sejati. Kemenangan atas ketidakjujuran, kemenangan atas politik yang telah kehilangan makna. Mereka memilih kehampaan karena mereka tahu, di dalam kehampaan itu, terdapat ruang yang luas untuk perubahan. Mereka tidak memilih Pak Surya bukan karena mereka tidak menyukainya secara pribadi, tetapi karena mereka muak dengan apa yang diwakilinya: politik tanpa nurani, janji tanpa pelaksanaan, dan kekuasaan tanpa tanggung jawab.
Pak Surya, kini seorang calon tanpa kemenangan, menyadari bahwa kehampaan itu lebih berbahaya daripada yang ia kira. Karena di balik kekosongan itu, ada suara rakyat yang tidak bisa lagi diabaikan, suara yang tidak bisa dibeli dengan janji-janji kosong atau uang sogokan.
Malam itu, di kota Sukakarsa, rakyat merayakan kemenangan mereka yang “kosong” dengan penuh kegembiraan. Mereka tahu, kemenangan ini bukan akhir, tapi awal dari sesuatu yang baru. Sebuah harapan bahwa di masa depan, mungkin akan ada pilihan yang lebih baik, lebih jujur, dan lebih bermakna.[]