Parcok
Cerpen
WA Wicaksono
Di sebuah provinsi kecil yang tak jelas letaknya di dalam peta, namun jelas ada di dalam hati rakyatnya, kehidupan selepas pemilihan Gubernur tak kunjung reda dari kegelisahan. Warung kopi Bu Sri, yang biasanya jadi tempat ngobrol santai, kini berubah jadi ruang debat yang panas.
“Aku bilang, ini pasti kerjaan parcok,” celetuk Pak Toha, sambil menyelipkan rokok kretek di bibir. Wajahnya keruh, tapi matanya berbinar penuh semangat menuduh.
“Parcok Partai Coklat maksudmu? Iya sih! Aku dengar parcok itu nge-backup si Mukidi. Mana bisa menang dia kalau enggak disokong kayak gitu,” tambah Lasmi, seorang ibu rumah tangga yang suaranya kerap lebih keras dari suara panci masak di dapurnya.
Kini nama Mukidi memang jadi topik utama. Lelaki bertubuh kecil yang gemar memakai kemeja putih lengan panjang yang digulung dan rambut yang selalu disisir menyamping itu mendadak jadi sorotan. Entah dari mana datangnya suara-suara pemilih yang mencoblosnya tak ada yang mengerti. Soalnya, rekam jejak Mukidi ini lebih sering bikin orang geleng-geleng kepala dari pada mengidolakannya. Bahkan Mukidi yang hobi memelihara kodok ini pernah mencoba usaha ternak bebek, namun semua bebeknya akhirnya terpaksa dimasak karena sekarat gara-gara dia lupa memberi makan.
Walaupun masyarakat pusing tujuh keliling tentang darimana datangnya suara dukungan yang begitu besar, nyatanya kini Mukidi berhasil menjadi pemimpin terpilih yang sah di provinsi tersebut.
Mukidi, yang hari-harinya lebih sering terlihat blusukan ke pasar hingga gorong-gorong tanpa jelas tujuannya tersebut, tetiba mencalonkan diri dan berhasil memenangkan kontestasi pemilihan gubernur. Sekarang, dengan raut muka cengengesan dan mengenakan kaus bergambar fotonya dengan slogan “Pilkades Ceria 2024”, kini terlihat sibuk diwawancarai berbagai awak media lokal.
“Pak Mukidi, banyak kabar burung kalau Bapak menang karena dukungan parcok. Apa tanggapan Anda?” tanya seorang wartawan, sambil menyerahkan mikrofon bekas pakai ke arah Mukidi.
Wajah Mukidi langsung merah, tapi bukan karena marah, melainkan malu. Sembari garuk-garuk kepala, ia menjawab dengan suara pelan. “Ya, saya nggak bisa bohong, ya. Memang benar, parcok sangat membantu saya…”
“Dhhhuuuaaarrr…!” Kalimat itu seperti petir yang menyambar di siang bolong. Kabar itu pun langsung menyebar lebih cepat daripada cicitan burung di atas kabel listrik. Sontak warga menjadi lebih heboh.
Tak terkecuali di warung Bu Sri, desas-desus makin menjadi-jadi.
“Udah jelas ini permainan kotor! Parcok itu nggak netral, sokongan kekuasaan biar Mukidi naik!” seru Pak Toha, memukul meja hingga gelas kopi bergemeretak.
“Iya, biar kita semua diatur orang bloon yang plonga-plongo begitu kali,” balas Lasmi.
Namun kegaduhan itu mendadak sunyi ketika Mukidi tiba-tiba dating dan masuk ke warung. Ia membawa sebuah kantong plastik merah, dengan wajah yang tampak berbinar.
“Eh, ngapain kalian ngomongin aku?” tanyanya polos, sambil mengeluarkan botol kaca kecil dari plastik itu.
“Ini, lho, parcok yang aku maksud. Berkat ini, aku bisa keliling desa-desa di seluruh pelosok provinsi dari pagi sampai malam, enggak capek-capek!”
Semua mata tertuju pada botol kecil di tangannya. Labelnya bertuliskan “Param Kocok: Jamu Gosok Andalan Atlet dan Kuli!”
Pak Toha terdiam. Lasmi melongo. Bu Sri yang dari tadi sibuk menggigit tepung krispi gorengan bahkan berhenti sejenak untuk melihat botol itu.
“Jadi… parcok yang kamu maksud itu…?” Pak Toha mencoba merangkai kata, tapi suaranya tercekat.
“Iya! Param kocok! Kalau enggak pakai ini, otot-ototku sudah remuk, mana kuat aku kampanye tiap hari!” jawab Mukidi dengan senyum lebar, seperti orang yang baru saja menemukan resep kebahagiaan sejati.
Warung itu mendadak meledak dalam tawa.
Pak Toha tertawa sampai terbatuk-batuk, Lasmi terpingkal sambil menutup mulutnya, dan Bu Sri hampir tersedak pisang gorengnya. Mukidi hanya berdiri di tengah, plonga-plongo kebingungan melihat semua orang tertawa tanpa ia tahu sebabnya.
Sejak hari itu, Mukidi tidak hanya dikenal sebagai gubernur terpilih, tapi juga duta param kocok tak resmi. Dan gosip tentang “parcok yang bermain di pemilu” pun perlahan berganti menjadi bahan lelucon warga, setidaknya sampai ada isu baru yang lebih seru. []