
Ketika Jack Dorsey Menggembel di Nairobi: Antara Simplicity, Satir, dan Kejayaan Bitcoin di Afrika
Oleh: WA Wicaksono, Storyteller
Dalam dunia di mana kesuksesan sering kali diasosiasikan dengan setelan jas Armani dan jam tangan Rolex, Jack Dorsey, eks pendiri dan CEO Twitter, kembali mencuri perhatian. Kali ini bukan karena tweet kontroversial atau startup baru, tetapi karena penampilannya yang, meminjam istilah Gen Z, “nggak modal”. Dalam acara Africa Bitcoin Conference di Nairobi, Kenya, Dorsey tampil dengan gaya yang lebih cocok untuk sesi yoga di taman daripada pidato di konferensi tingkat tinggi. Rambut acak-acakan, kaos polos lusuh, dan sandal yang seolah mengajak: “Kita santai dulu, bro!”
Gaya Gembel Berkelas?
Mengapa seorang miliarder dengan kekayaan yang cukup untuk membeli seluruh distrik Nairobi memilih tampil seperti mahasiswa semester akhir yang baru bangun siang? Jawabannya mungkin ada pada mantra para tokoh perubahan: “Less is more.” Atau, dalam konteks ini: “Less laundry, more impact.”
Dorsey jelas bukan pionir dalam tren ini. Justin Bieber sudah lebih dulu mengajarkan kita bahwa looking homeless bisa menjadi strategi pemasaran yang jitu. Di Indonesia, Baim Wong dan Atta Halilintar juga sering tampil gembel-chic, meski untuk kebutuhan konten. Namun, Dorsey membawa pendekatan ini ke level baru: bukan untuk hiburan, tapi untuk statement.
Di tengah isu ketidaksetaraan global dan eksploitasi sumber daya, tampil sederhana di panggung Afrika adalah semacam satire hidup. Ini adalah cara halus mengatakan: “Harta nggak perlu ditunjukkan, cukup disimpan di dompet kripto.”
Kenapa di Kenya?
Kenya menjadi tuan rumah konferensi ini bukan tanpa alasan. Negara ini memiliki sekitar 4,5 juta pemegang mata uang kripto, salah satu yang tertinggi di Afrika dan masuk 10 besar global. Ketika banyak negara maju masih ragu terhadap Bitcoin, Afrika justru menjadi ladang subur. Bahkan beberapa negara di benua ini dikabarkan akan menggunakan AI untuk mendeteksi pemilik kripto yang tax evasion. Jadi, tak heran jika Nairobi menjadi tempat berkumpul para evangelis kripto, termasuk Dorsey.
Trendsetter Zelenial dan Gen Alpha
Pertanyaannya, apakah gaya anti-establishment Dorsey ini akan menjadi tren baru di kalangan Zelenial dan Gen Alpha? Jika dilihat dari kebiasaan mereka yang sudah terbiasa rejecting norms, ini punya potensi. Lagipula, siapa yang tak ingin tampil seperti “miliarder yang merakyat” sambil tetap punya aset miliaran di blockchain?
Namun, mari kita tidak lupa bahwa gaya ini, meskipun terlihat murah, sebenarnya membutuhkan “modal” besar. Tidak semua orang bisa memakai kaos lusuh sambil tetap dianggap keren. Seperti kata pepatah Gen Z: “Yang penting vibe-nya.” Dan vibe ini, sayangnya, sulit dicapai tanpa latar belakang rekening bank yang mengesankan.
