Gerakan “Blokir Jokowi” Mulai Bergulir, Paradoks Clicktivism Indonesia?
Oleh: WA Wicaksono, Storyteller, Analis Iklan dan Pencitraan
Disinyalir warganet Indonesia mulai kembali beraksi. Kali ini, Gerakan “Blokir Jokowi” atau “Jokowi Diblokir” tengah menggema di linimasa sosial media. Alasannya klasik. Semua karena kemuakan atas cawe-cawe politik yang konon masih dilakukan oleh mantan presiden RI ke-7 ini. Dari sinilah jargon-jargon bombastis seperti “Suara Netizen, Suara Tuhan”, “No Viral No Justice” dan “No Viral No Attention” kembali menjadi mantra perjuangan digital. Namun, seperti kisah-kisah gerakan warganet lainnya, apakah kali ini mereka akan benar-benar bisa berkembang sporadis dan menang?
Antara Harapan dan Kebuntuan
Gerakan sosial media seperti ini bukanlah hal baru. Sebelumnya, kita pernah mendengar “Gerakan Uninstall Jokowi” yang meski terdengar gahar, akhirnya meredup bagai lilin ditiup angin. Alasannya sederhana: warganet adalah makhluk yang impulsif. Mereka senang dengan gebrakan besar, tetapi daya tahan mereka untuk mempertahankan semangat itu seringkali kalah oleh video kucing lucu atau drama Korea terbaru.
Secara global, hal serupa juga terjadi dengan fenomena mondial “Gerakan Stop Making People Famous” yang sampai sekarang tak juga mampu menunjukkan tajinya. Kampanye digital yang notabene merupakan sebuah upaya heroik untuk menghentikan konten-konten tidak bermutu agar tidak mendominasi algoritma. Sayangnya, ternyata formula dunia maya memiliki paradoks tersendiri. Yang terjadi justru semakin sesuatu dilarang atau dikecam, malah semakin besar kemungkinan hal itu menjadi viral. Dalam konteks ini, warganet sebenarnya lebih sering menjadi musuh bagi perjuangan mereka sendiri.
