JAKARTASATU.COM– Kasus Harun Masiku terjadi karena pengingkaran elite partai terhadap pemberlakuan sistem pemilu proporsional daftar terbuka dengan suara terbanyak, serta pemaksaan agar calon legislatif (caleg) favorit elite bisa dapat kursi ketimbang memberikan kursi kepada caleg suara terbanyak yang dikehendaki rakyat. Demikian disampaikan pemerhati pemilu, Titi Anggraini, kemarin, Kamis (26/12/2024), di akun X-nya.
Titi menyebutkan bahwa kasus Harun Masiku dimulai sebelum pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR, yaitu dengan upaya mengganti caleg terpilih sebelum pelantikan. “Dimana caleg yg diusulkan dilantik adalah caleg dgn perolehan suara nomor lima terbanyak dari 8 caleg yg ada (1 caleg meninggal dunia). KPU menolak permintaan itu,” kata dia, Jumat.
Titi mengatakan di atas untuk merespons pertanyaan dari salah satu netizen, @a12un yang menanyakan, “Ya kalau gitu runutan masalahnya ga ketemu dengan pertanyaan kenapa PAW menjadi domain KPU.”
Menurut Titik, PAW masih melibatkan KPU adalah sebagai konsekuensi sistem pemilu proporsional daftar terbuka dengan suara terbanyak yang dianut Indonesia. “Untuk memastikan bahwa orang yang mengisi PAW adalah caleg yang memperoleh suara terbanyak berikutnya, bukan asal tunjuk sesuai selera elite,” pungkasnya. (RIS)