KONTROVERSI LEGITIMASI
Oleh: Radhar Tribaskoro
Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia
Ketika Prabowo Subianto mengusulkan kebijakan pengampunan terhadap koruptor yang bersedia mengembalikan uang hasil korupsinya secara diam-diam, kontroversi tak ayal meruyak. Kebijakan ini, yang di satu sisi dimaksudkan untuk memulihkan keuangan negara, di sisi lain memunculkan pertanyaan mendalam tentang keadilan, moralitas, dan legitimasi pemerintah. Dalam situasi di mana kepercayaan publik terhadap pemerintah sedang merosot, kebijakan semacam ini tidak hanya dipandang sebagai langkah pragmatis, tetapi juga sebagai cerminan dari dilema yang dihadapi pemerintah: memulihkan legitimasi atau mendorong kebijakan yang kontroversial demi pembangunan.
Legitimasi adalah fondasi dari keberlanjutan pemerintahan. Ia tidak hanya memastikan kepatuhan rakyat, tetapi juga menjadi landasan stabilitas politik, sosial, dan ekonomi. Max Weber, dalam kerangka teorinya, menyebut bahwa legitimasi bersandar pada penerimaan rakyat terhadap otoritas yang memerintah, baik berdasarkan tradisi, kharisma pemimpin, maupun legalitas hukum yang berlaku. Dalam konteks modern, legitimasi lebih banyak ditentukan oleh kemampuan pemerintah dalam melayani kepentingan masyarakat secara adil dan efektif. Ketika legitimasi melemah, sebagaimana yang dialami pemerintah saat ini, berbagai tanda-tanda dapat terlihat, mulai dari penurunan kepercayaan publik, meningkatnya kritik sosial, hingga disfungsi lembaga-lembaga negara.
Krisis legitimasi sering kali menjadi medan yang sulit bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan, terutama yang bersifat kontroversial. Pengampunan koruptor, meskipun memiliki potensi untuk mengembalikan uang negara dengan cepat, mudah dilihat sebagai bentuk kompromi moral yang merusak kepercayaan publik lebih jauh. Dalam masyarakat yang telah lama memandang korupsi sebagai musuh utama pembangunan, kebijakan ini dapat dianggap sebagai bentuk toleransi terhadap kejahatan besar, bahkan jika itu dilakukan dengan imbalan pengembalian dana. Apalagi, ketika kepercayaan terhadap lembaga hukum sudah merosot, kebijakan semacam ini lebih cenderung dilihat sebagai pengkhianatan terhadap prinsip keadilan. Selama ini rakyat telah sangat patuh membayar pajaknya, mereka melongo melihat di sisi lain para pengemplang pajak mendapat kemudahan dari Tax Amnesty I dan Tax Amnesty II. Sementara itu, sekarang pemerintah berencana mengampuni para koruptor.
Harus diakui pemerintah saat ini menghadapi krisis legitimasi yang mempersempit ruang geraknya. Krisis ini mempersempit kemampuan pemerintah untuk mengambil kebijakan yang tidak populer walau diperlukan untuk mendorong pembangunan. Pengampunan koruptor, memang, memiliki manfaat pragmatis: mengembalikan uang negara tanpa harus melalui proses hukum yang panjang dan mahal. Dalam situasi di mana kebutuhan fiskal mendesak, kebijakan ini dapat memberikan dana segar untuk pembangunan atau pemulihan ekonomi. Namun, manfaat ini sulit dirasakan sepenuhnya jika kebijakan tersebut menimbulkan resistensi yang besar dari masyarakat.
Sebagai contoh, dalam sejarah kebijakan kontroversial di berbagai negara, langkah-langkah seperti pengampunan pajak atau pengampunan koruptor sering kali dilakukan sebagai bagian dari strategi fiskal. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada sejauh mana pemerintah mampu mempertahankan kepercayaan publik. Tanpa legitimasi, kebijakan tersebut tidak hanya gagal mencapai tujuannya, tetapi juga memperburuk persepsi publik terhadap pemerintah. Krisis kepercayaan yang terjadi berpotensi menciptakan siklus ketidakstabilan baru, di mana pemerintah semakin kehilangan kemampuan untuk melaksanakan kebijakan yang esensial.
Dalam konteks ini, dilema antara memulihkan legitimasi dan melanjutkan kebijakan kontroversial menjadi semakin nyata. Di satu sisi, pemerintah yang berusaha memulihkan legitimasi perlu menunjukkan komitmen terhadap nilai-nilai keadilan dan akuntabilitas. Penegakan hukum yang tegas terhadap koruptor, misalnya, dapat menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah serius dalam membangun tata kelola yang bersih. Di sisi lain, pembangunan sering kali membutuhkan kebijakan-kebijakan pragmatis yang, meskipun tidak populer, dapat memberikan hasil yang nyata dalam jangka pendek.
Jika ditinjau lebih jauh, kebijakan pengampunan koruptor yang diusulkan Prabowo sebenarnya mencerminkan dilema ini dengan jelas. Kebijakan tersebut berpotensi mempercepat pemulihan keuangan negara, tetapi juga dapat merusak legitimasi pemerintah jika tidak dikelola dengan hati-hati. Sebuah kebijakan yang seharusnya menjadi solusi pragmatis dapat berubah menjadi bumerang jika dilihat oleh publik sebagai tanda kelemahan atau kompromi moral.
Dalam situasi ini, pemerintah perlu mengadopsi pendekatan yang lebih transparan dan akuntabel. Kebijakan pengampunan koruptor, jika memang harus dilakukan, tidak boleh dilakukan secara diam-diam. Sebaliknya, pemerintah harus menjelaskan tujuan, mekanisme, dan batasan kebijakan tersebut secara terbuka kepada publik. Komunikasi yang efektif adalah kunci untuk mengurangi resistensi dan memastikan bahwa kebijakan ini dipahami sebagai bagian dari strategi yang lebih besar untuk memperbaiki tata kelola negara.
Selain itu, kebijakan semacam ini harus disertai dengan langkah-langkah penguatan penegakan hukum. Pengampunan koruptor tidak boleh dilihat sebagai akhir dari upaya pemberantasan korupsi, melainkan sebagai strategi jangka pendek yang didukung oleh komitmen jangka panjang terhadap transparansi dan akuntabilitas. Pemerintah harus menunjukkan bahwa kebijakan ini bukan bentuk toleransi terhadap korupsi, tetapi langkah pragmatis untuk memulihkan kerugian negara sambil terus memperkuat institusi hukum.
Lebih jauh lagi, kebijakan ini juga perlu dipadukan dengan reformasi yang memastikan bahwa korupsi tidak lagi menjadi masalah sistemik. Tanpa reformasi, pengampunan koruptor hanya akan menciptakan insentif bagi pelaku kejahatan untuk mengulangi perbuatannya. Reformasi ini mencakup peningkatan transparansi anggaran, pengawasan yang lebih ketat terhadap pejabat publik, dan pendidikan antikorupsi yang lebih luas di masyarakat.
Namun, pada akhirnya, pertanyaan besar tetap ada: mana yang harus diprioritaskan, memulihkan legitimasi atau mengambil kebijakan pragmatis seperti pengampunan koruptor? Dalam jangka pendek, kebutuhan fiskal dan pembangunan mungkin tampak lebih mendesak. Tetapi, legitimasi adalah aset yang jauh lebih penting dalam jangka panjang. Pemerintah dengan legitimasi tinggi memiliki ruang lebih besar untuk mengambil kebijakan yang sulit tanpa menghadapi resistensi yang berlebihan. Sebaliknya, pemerintah dengan legitimasi rendah akan kesulitan melaksanakan bahkan kebijakan yang paling sederhana sekalipun.
Sebagaimana dikatakan oleh Joseph Nye, “Kekuatan lunak sebuah pemerintahan tidak hanya terletak pada otoritas hukum atau kekuatan militer, tetapi pada kepercayaan yang diberikan oleh rakyatnya.” Dalam konteks ini, pemulihan legitimasi harus menjadi prioritas utama. Hanya dengan legitimasi yang kuat, pemerintah dapat membangun fondasi yang kokoh untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan demi kemajuan bangsa.
Legitimasi bukanlah sesuatu yang bisa dibangun secara instan. Ia memerlukan konsistensi dalam tindakan, transparansi dalam kebijakan, dan keberanian untuk mengutamakan keadilan meskipun itu berarti menghadapi tantangan jangka pendek. Dengan cara ini, pemerintah dapat menunjukkan bahwa mereka tidak hanya berkuasa, tetapi juga memiliki mandat moral untuk memimpin. Dan ketika mandat itu ada, kebijakan apa pun, bahkan yang kontroversial sekalipun, dapat dijalankan dengan dukungan yang lebih besar dari rakyat.===