NERACA “SURPLUS KUASA”

Oleh Agung Marsudi

SAYA mendapat kado akhir tahun yang menarik, yaitu disomasi karena tulisan saya yang dimuat di beberapa media online nasional. Tak tanggung-tanggung, saya diberi waktu 5×24 jam, untuk menjawab somasi tersebut.

Saya dipaksa situasi, untuk membangun pola komunikasi dengan sahabat-sahabat senior menyikapi somasi tersebut; dengan jawaban yang unik juga, pertama, inilah dampak dari mereka yang sedang “surplus kekuasaan”, kedua, mereka sedang memamerkan gaya politik dengan “cara lain”.

Tak sabar menunggu 5 hari, saya mencoba membaca ulang tulisan saya yang pendek itu. Di bagian mana hingga menimbulkan “ketegangan” hingga saya disomasi?

Kini menyebut kata “Hasto” seperti lebah berdengung. Sebagaimana menyebut kata “Amril” di negeri junjungan Bengkalis. Apalagi menyebut “Muara Basung”. Padahal di Jakarta, menyebut “Teuku Umar, Cikeas, Kertanegara” terkait Megawati, SBY, atau Prabowo, itu hal biasa, meski juga berkelindan dengan neraca “surplus kuasa”.

Surplus kekuasaan, menjadi penanda bila demokrasi sejatinya berwatak kapitalis. Kotor, bergejolak, “tidak terkendali”, warna residu demokrasi borjuisi.

Hanya di negeri ini, “menulis” bukan menuliskan, dihadap-hadapkan dengan “somasi”. Varian baru demokrasi zombi.

Kata mereka, “Ini Medan, Bung!”
Kata saya, “Kok, Jaka Sembung!”

Yogya, 29 Desember 2024