“Aku Dan Yang Bukan Aku”, “Jokowi dan yang bukan Jokowi”

Oleh Agung Marsudi
DURI INSTITUTE

POLITIK sekarang seperti membaca Tempo, rasa tempe, lalu Aguan makan tempe di Tempo. Politik bukan lagi urusan ideologi, atau gagasan-gagasan besar bernas, tapi soal kecil proyek-proyek yang “ujung-ujungnya jualan, ujung-ujungnya duit”.

Politik tak lagi bahasa rumit dan pelik, konstruksi narasinya lumer, tak perlu estetik, cenderung koruptif. Efek dramatisnya dibangun dari narasi itu. Paradoks, dan dibumbui teka-teki.

Realitasnya, tak koheren, tak nyambung, tak dihayati. Berlindung di bawah payung demokrasi, tapi lupa bahwa bangsa ini telah lebih dulu memiliki jati diri.

Di neraca “surplus kekuasaan”, tapi saldonya justru korupsi. Dan saldo itu terus-menerus dimasukkan di aktiva APBN siapapun presidennya.

Visi negara, diganti visi presiden yang berganti-ganti, sementara pertanggungjawaban presiden tak jelas harus disampaikan ke siapa. Sebab pasca amandemen UUD 1945 bangsa ini tak punya lembaga tertinggi, sebagai representasi majelis rakyat.

Semua lembaga sama, sama-sama suka-suka. Mana suka siaran niaga.
Di hari kedua tahun 2025, saya pura-pura bisa membaca Indonesia, teringat waktu itu, jargon relawan, “Jokowi adalah Kita”. “Pancasila adalah Kita”. Kini si “Kita” telah melaut. Layarnya robek oleh angin Timur yang kencang menembus Laut Cina Selatan.

Tak ada yang berani membusungkan dada, “proyek-proyek yang dibiayai Cina adalah Kita”.

Jiwa Raga Kita telah pergi ke Cina atau Amerika . “Aku dan yang bukan Aku, Jokowi dan yang bukan Jokowi” sedang berkejaran dengan waktu. Ngurusi sejengkal perut rakyat saja, tak bisa. Apalagi ngurusi negara. Kata orang tua, “Untuk bahagia gak perlu negara”.

“Mereka” kini bergabung menjadi “Kami”, karena “Bagimu Negeri Jiwa Raga Kami”.

Cikini Raya, 2 Januari 2025