FILOSOFI KOPI KINTAMANI

Oleh Agung Marsudi

PAGI menikmati 200 ml “heritage coffee” asli Bali, Arabika Kintamani, enaknya setengah mati. Setelah beberapa hari sruput kopi Aceh, Sumatera, Toraja, dan Papua. Warisan nusantara memang luar biasa.

Sambil menunggu matahari bersolek, lalu membayangkan indahnya gunung-gunung, meski di depan mata sementara hanya terlihat gedung-gedung.

Di meja bar di samping saya, duduk seorang mahasiswa jurusan seni pertunjukan juga sedang berdandan. Meski sejenak, ia meninggalkan aroma Regazza. Kami tak sempat berdialektika. Hanya bertegur sapa.

Minggu pagi ini (12/1) saya menolak ajakan sahabat dari Sumatera untuk ikut car free day di bundaran HI. Saya justru menghabiskan keringat, mengelilingi Taman Ismail Marzuki. Sebab selama ini saya punya hati, terpaut dengan Cikini.

Ada kenangan tersimpan, ketika hari mendung, dengan sebuah payung, milik seorang gadis bangsawan keturunan India. Ada cerita, yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Meski Jumat lalu belajar tadarus kata di “Kenduri Cinta”.

Puisi esai Denny JA pun tak sanggup meronakan cerita-cerita. Apatah makna “Cinta di Era Algoritma”. Seperti mantra-mantra Ibrahim Sattah, tanpa saktah.

Bait puisi kopi Kintamani itu, diawali tanpa kata, diakhiri dengan cinta. Diawali dengan cinta, diakhiri tanpa kata. Kuingin maunya. Kumau inginnya. Seperti filosofi kopi Kintamani “Tri Hita Karana”.

Ia cinta pada Guru Nanak. Segalanya adalah Tuhan. Tuhan adalah segalanya. Sayang kastaku sudra.

Cikini Raya, 12 Januari 2025