Editor for English section Floresa, Anastasia Ika (kiri)
Editor for English section Floresa, Anastasia Ika (kiri)
JAKARTASATU.COM – Terkuaknya jejak kekerasan yang menimpa Pemred Floresa, peristiwa brutal yang terjadi pada 2 Oktober 2024 di Poco Leok tersebut telah mengguncang kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. Saat Herry Kabut tengah meliput aksi protes, ia mengalami penganiayaan yang mengakibatkan luka serius, perampasan alat kerja, hingga penahanan dalam mobil polisi selama berjam-jam. Rekaman dan bukti fisik pun menguatkan narasi duka tersebut.
Sidang etik atas dugaan keterlibatan anggota Polres Manggarai dalam insiden itu semula dijadwalkan pada 20 Februari 2025 di Ruteng. Namun, kendala logistik—terutama masalah tiket pesawat dari Kupang—menunda pelaksanaannya. Meski demikian, kehadiran Herry dan saksi-saksi dari Poco Leok diharapkan menjadi kunci untuk mengungkap fakta di balik peristiwa tersebut.
Dalam proses hukum ini, Ferdinansa Jufanlo Buba, salah satu kuasa hukum Herry, menyatakan,”Kasus ini adalah kasus serius yang melibatkan apparat penegak hukum. Ketegasan Propam untuk memberi sanksi terhadap polisi yang melanggar akan memberi pesan penting bagi publik. Tidak ada alasan bagi polisi untuk tidak menindak anggotanya.”
Seruan untuk transparansi juga datang dari Erick Tanjung, Koordinator Satuan Tugas Anti Kekerasan Jurnalis di Dewan Pers. Ia menegaskan,”Harus dibuka secara terang-benderang, tidak boleh ada upaya untuk menutup-nutupi kasus ini.”
“Siapapun yang tidak terima pada kerja jurnalis akan lebih leluasa melakukan kekerasan, sebab sangat sedikit pelaku diproses secara hukum,” tegasnya memperingatkan.
Ketidakpuasan mendalam pun muncul dari pihak korban hukum. Yulianus Ario Jempau, pengacara Herry, mengecam penghentian penyelidikan pidana oleh Polda NTT.
“Bagaimana bisa dikatakan tidak cukup bukti, sementara kami sudah mengajukan bukti-bukti penganiayaan, berupa foto-foto bekas luka, hasil pemeriksaan dokter, dan keterangan saksi?” ujarnya.
Sementara itu, Ryan Dagur, Pemimpin Umum Floresa, mengungkapkan adanya pendekatan dari pihak yang mengaku mewakili keluarga aparat, yang menawarkan penyelesaian secara kekeluargaan melalui mekanisme “wunis peheng.”
“Orang itu menawarkan agar kasus ini diselesaikan dengan mekanisme wunis peheng,” jelasnya.
Ryan menegaskan bahwa pelaporan ke Polda NTT dipilih karena dinilai mampu menghadirkan keadilan, berbeda dengan melapor ke Polres Manggarai yang dianggap rawan perlindungan internal terhadap pelaku.
Di tengah deretan pernyataan yang menggugah, sidang etik ini diharapkan menjadi tolok ukur bagi reformasi disiplin dan akuntabilitas aparat. Di balik setiap bukti dan kesaksian, tersimpan harapan besar agar transparansi dan keadilan ditegakkan, sekaligus mengikis budaya impunitas demi menjaga demokrasi serta kebebasan pers di Indonesia. |WAW-JAKSAT