JAKARTASATU.COM– Akhir Agustus 2022, komunitas Jakarta Art Movement dan Papatong Artspace berkolaborasi melukis siluet wajah Bung Hatta di dinding (mural) flyover Cipinang, Jakarta Timur. Mural dengan siluet wajah Bung Hatta itu disertai ucapannya yang menyinggung ketahanan pangan.
“Bukti mendatangkan beras dari luar negeri itu saja adalah suatu penghinaan bagi bangsa kita yang menduduki Tanah Air yang begitu luas dan subur”, demikian dikutip.
Disampaikan koordinator mural dan kurator dari Jakarta Art Movement, Bambang Asrini bahwa kutipan di bawah siluet wajah Bung Hatta diambil dari buku “Koperasi Membangun dan Membangun Koperasi”, karya Bung Hatta. Kutipan tersebut kata dia, menekankan pentingnya kemandirian pangan dan kesejahteraan petani Indonesia.
Mural tersebut juga mengingatkan bahwa meskipun Indonesia pernah mencapai swasembada beras, kesejahteraan petani sebagai produsen utama belum sepenuhnya terjamin. “Oleh karena itu, karya seni ini diharapkan dapat menjadi refleksi atas cita-cita Hatta mengenai kemandirian pangan dan peran koperasi dalam perekonomian nasional,” terang Bambang dikutip seni.co.id, Selasa (4/3/2025).
“Seni mural dipilih sebagai medium efektif untuk menghidupkan kembali sosok Hatta dan isu kemandirian pangan. Menarik dan ini sangat kontektual,” imbuhnya.
Kutipan Mural Bung Hatta “Mengganggu”
Februari 2025, tepatnya tanggal 25, dilaporkan tulisan di bawah mural siluet Bung Hatta lenyap. Tampak terhapus. Ditiban cat.
Menurut pengamat seni budaya, Aendra Medita, kalau mural yang mengenang Bung Hatta itu benar-benar dihapus, besar kemungkinan ada kepentingan tertentu yang merasa terganggu—terutama jika mural tersebut mengangkat isu kemandirian pangan dan kritik terhadap impor beras.
“Bung Hatta memang dikenal sebagai tokoh yang sangat mendukung koperasi dan ekonomi kerakyatan. Jadi pesannya jelas bisa dianggap mengganggu pihak-pihak yang diuntungkan dari impor pangan,” kata Aendra.
“Kalau benar ada upaya penghapusan mural ini oleh pihak-pihak tertentu, ini bisa menjadi indikasi bahwa seni jalanan masih dianggap sebagai media yang cukup berpengaruh dalam menyuarakan kritik sosial. Atau mereak tak menganggap seni hanya sampah? Bisa jadi ada yang merasa pesan dalam mural tersebut terlalu berani atau membahayakan kepentingan mereka terutama pengimpor beras,” sambungnya.
Jika mural ini memang dihapus karena pesannya dianggap mengganggu kepentingan tertentu, menurut Aendra, ini menunjukkan bagaimana seni bisa menjadi alat komunikasi yang sangat berpengaruh—hingga ada pihak yang merasa perlu menghilangkannya.
Sejauh ini, tidak ada pihak yang mengaku meniban tulisan kutipan dari proklamatori itu. Para seniman yang terlibat pun merasa ini aneh.
Sampai kini pernyataan dari pihak seniman atau komunitas terkait tindakan ini merasa heran dan tak ada juga yang mengaku siapa yang menghapus.
“Jelas ada yang merasa terganggu dengan pesan dalam mural ini. Kutipan Bung Hatta itu bukan sekadar kata-kata biasa tetapi pernyataan tegas tentang kemandirian pangan yang langsung menyinggung kebijakan impor beras. Bisa jadi, ada kepentingan tertentu—entah dari pihak yang diuntungkan oleh impor atau otoritas tertentu—yang merasa mural ini terlalu berani dan memicu kesadaran publik,” kata Bambang.
“Kalau mural ini dihapus atau diubah secara sengaja, itu justru menunjukkan bahwa pesan tersebut punya kekuatan. Mungkin ini juga bisa jadi momentum untuk mengangkat kembali isu ini melalui media lain, seperti diskusi, tulisan, atau karya seni lain yang lebih sulit untuk ‘dihapus’,” imbuhnya.
Aneh memang kata Bambang, yang melakukan penghapusan itu. Tidak jelas maksudnya.
“Mohammad Hatta itu proklamator, bapak koperasi, dan salah satu pemikir ekonomi paling visioner di Indonesia. Kalau ada yang sampai merasa perlu menghapus kutipannya, itu justru memperlihatkan betapa besarnya pengaruh pesan beliau,” katanya.
“Aneh juga kalau sosok sekaliber Bung Hatta diperlakukan seolah-olah beliau bukan siapa-siapa. Kutipannya soal impor beras itu relevan dengan kondisi sekarang, dan malah seharusnya dijadikan pengingat, bukan dihapus,” tekannya.
Kalau saja ada yang sensi dengan mural ini, kata dia, bisa jadi mereka paham bahwa pesan tersebut mengganggu kepentingan mereka.
“Tapi apa mungkin ini juga jadi bukti bahwa kritik lewat seni masih dianggap berbahaya oleh sebagian pihak. Kalau mural bisa dihapus, bagaimana caranya biar pesannya tetap hidup? Ayo, Pak Menteri Kebudayaan, apa komentarnya? Janganlah ekspresi hanya dijadikan sampah. Bukan begitu?” pungkasnya. (RIS)