IST
IST
JAKARTASATU.COM – Kabanjahe, Persidangan kasus pembunuhan berencana terhadap wartawan Rico dan keluarganya kembali mengalami penundaan. Agenda pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sedianya dijadwalkan pada Senin, 10 Maret 2025, harus ditunda lantaran rencana tuntutan dari Kejaksaan Agung belum turun. Persidangan dijadwalkan kembali pada Kamis, 13 Maret 2025, di Pengadilan Negeri Kabanjahe, Ruang Cakra.
Kronologi dan Fakta Persidangan
Kasus ini bermula dari peristiwa tragis yang terjadi pada awal Januari 2025, ketika satu keluarga wartawan Rico ditemukan tewas dalam kebakaran yang diduga kuat disengaja. Seiring berjalannya sidang, berbagai fakta persidangan mulai terungkap, termasuk keterlibatan sejumlah pihak dalam pembunuhan berencana tersebut.
Pada 6 Januari 2025, Eva Meliani Pasaribi—anak korban—serta Marson, adik korban, dihadirkan sebagai saksi. Keduanya memberikan keterangan terkait kehidupan keluarga korban dan kebiasaan sehari-hari mereka, termasuk pada malam kejadian. Selain itu, Eva juga menyinggung keterlibatan Bebas Ginting, yang diketahui merupakan anggota dari Koptu HB. Bebas Ginting diduga bertugas mengamankan aktivitas perjudian dari pantauan wartawan dan organisasi masyarakat.
Sidang kemudian menghadirkan empat saksi mata, dua di antaranya merupakan tetangga korban. Mereka memberikan kesaksian mengenai situasi pada saat kebakaran, termasuk keberadaan api, kondisi rumah, serta suara teriakan minta tolong yang terdengar dari lokasi kejadian. Keterangan ini membantah pernyataan terdakwa Yunus yang sebelumnya mengklaim bahwa rumah tersebut bukan tempat tinggal korban.
Pemeriksaan berlanjut dengan menghadirkan saksi Pedoman, yang diduga terlibat dalam survei lokasi rumah korban sebelum kejadian. Pedoman, yang merupakan anggota Bebas Ginting, membeberkan adanya perencanaan pembakaran yang dilakukan di Terminal. Ia juga mengungkap bahwa perjudian di Jalan Kapten Bom Ginting dikelola oleh Koptu HB, dengan Bebas Ginting bertindak sebagai pengaman bisnis tersebut.
Kesaksian Pedoman diperkuat oleh tiga saksi lain yang menyatakan bahwa perjudian tersebut memang dimiliki oleh Koptu HB. Namun, Koptu HB sendiri membantah keterlibatannya dan mengklaim bahwa perbincangan dengan Bebas Ginting sebelum kejadian hanya membahas pupuk kandang. Koptu HB sempat dua kali mangkir dari panggilan sidang sebelum akhirnya memberikan kesaksiannya.
Bukti dan Keterangan Ahli
Selain keterangan saksi, barang bukti berupa sepeda motor yang digunakan dalam aksi pembakaran juga diperiksa. Pemilik sepeda motor bersaksi bahwa kendaraannya dipinjam oleh istri Bebas Ginting untuk digunakan dalam aksi tersebut. Dari sudut pandang hukum pidana, hal ini menunjukkan adanya niat jahat (mens rea) serta perencanaan yang matang sebelum kejadian.
JPU juga menghadirkan dua ahli, yakni Ahli Laboratorium Forensik dan Dokter Forensik. Ahli Laboratorium Forensik menyimpulkan bahwa kebakaran yang terjadi bukanlah kecelakaan, melainkan hasil dari pembakaran yang disengaja menggunakan api terbuka (open flames). Sementara itu, Dokter Forensik menjelaskan bahwa korban meninggal akibat keracunan karbon monoksida sebelum akhirnya terbakar.
Terdakwa Berbelit, Eva Minta Hukuman Mati
Dalam pemeriksaan terdakwa, muncul banyak ketidakkonsistenan dalam pernyataan mereka. Beberapa terdakwa bahkan menyampaikan keterangan yang berbeda antara Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dengan yang mereka sampaikan di persidangan. Salah satunya adalah pengelakan mereka atas uang satu juta rupiah yang diberikan oleh Bebas Ginting, yang diduga sebagai bayaran atas keberhasilan eksekusi pembakaran rumah korban.
Melihat fakta-fakta persidangan yang telah terungkap, Eva Meliani Pasaribi menuntut agar JPU menjatuhkan hukuman mati kepada para terdakwa. Ia menegaskan bahwa kasus ini jelas merupakan pembunuhan berencana, sebagaimana diatur dalam Pasal 340 Jo. Pasal 187 ayat 3 Jo. Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Eva juga menyoroti bahwa tindakan ini melanggar berbagai undang-undang dan instrumen hukum lainnya, termasuk: UUD 1945, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), dan Undang-Undang Perlindungan Anak.
Sidang yang seharusnya mengagendakan pembacaan tuntutan akhirnya harus ditunda karena Kejaksaan Agung belum mengeluarkan rencana tuntutan bagi para terdakwa. JPU menyatakan bahwa penundaan ini bersifat administratif dan sidang akan digelar pada agenda yang sudah dijadwalkan di Ruang Cakra, Pengadilan Negeri Kabanjahe. |WAW-JAKSAT