Telah Lahir, Forum Literasi dan Pelatihan Filantropi untuk Dorong SDM Unggul

JAKARTASATU.COM– Berbuka puasa bersama di Ramadan menjadi langkah strategis dalam membangun semangat kebersamaan antar lembaga pelatihan filantropi untuk meningkatkan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) lembaga filantropi di Indonesia.

Demikian dikatakan Direktur Pendistribusian dan Pendayagunaan Inisiatif Zakat Indonesia (IZI), Aan Suherlan dalam sambutan pembuka di acara Forum Rembug Konsorsium Lembaga Literasi dan Pelatihan Filantropi yang diadakan Akademizi, Kamis (13/3/2025).

Hadir dalam acara ini perwakilan Baznas, Forum Zakat (FOZ), Syarikat Amil Indonesia (Syamil), Sekolah Amil Indonesia (SAI), Inspirasi Melintas Zaman (IMZ), Institut Fundraising Indonesia (IFI), Human Initiative Institute (HII), serta Akademizi dari Laznas IZI.

“Organisasi yang hebat tidak muncul begitu saja, tetapi melalui proses panjang dengan penguatan literasi dan kapasitas. Oleh karena itu, mendorong SDM yang unggul di lembaga zakat melalui lembaga pelatihan filantropi adalah sebuah keharusan,” ujar Aan Suherlan.

Menurutnya, lembaga pelatihan filantropi memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas amil zakat. Kementerian Agama sendiri telah menyoroti pentingnya kompetensi amil, di mana masih terdapat variasi tingkat kemampuan, dari yang sudah baik hingga yang masih perlu ditingkatkan. Forum ini menjadi ajang untuk berbagi pengalaman dan merumuskan strategi bersama dalam meningkatkan kualitas SDM amil zakat.

Dengan adanya forum ini, diharapkan lembaga-lembaga pelatihan filantropi dapat terus berinovasi dan berkolaborasi dalam melahirkan SDM yang kompeten serta profesional dalam pengelolaan zakat dan kegiatan filantropi lainnya.

Direktur Akademizi Nana Sudiana, menegaskan pentingnya menyatukan ide dan ekspektasi dalam meningkatkan kapasitas amil dan nadzhir sebagai bagian dari amal jariyah. Menurutnya, ada banyak pekerjaan rumah (PR) bagi lembaga pelatihan filantropi Islam yang seharusnya tidak saling bersaing, tetapi berkolaborasi untuk kepentingan umat dalam jangka panjang.

Nana Sudiana menyoroti bahwa SDM dalam sektor filantropi adalah isu jangka panjang yang membutuhkan perhatian khusus. Menurutnya, pengelolaan dana zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF) memerlukan tenaga profesional yang memiliki kompetensi mumpuni.

“Urusan SDM ini adalah urusan umat dalam jangka panjang. Ini bukan hanya persoalan akhirat, tetapi juga bagaimana kita memastikan bahwa lembaga-lembaga pelatihan filantropi Islam memiliki peran yang kuat dalam membangun kapasitas amil,” ujarnya.

Nana menegaskan bahwa jika komunitas filantropi Islam tidak segera membangun sistem dan infrastruktur pendidikan yang baik bagi para amil, maka pihak lain yang akan mengambil alih peran tersebut. Ia mengingatkan bahwa dalam sejarah, banyak catatan penting tentang kerajaan-kerajaan di Indonesia justru lebih banyak didokumentasikan oleh pihak luar, seperti Belanda.

“Kalau kita tidak membuatnya, orang lain yang akan membuat,” katanya.

Dalam pengamatannya di lapangan, Nana juga menyoroti fakta bahwa masih banyak amil yang tidak tersertifikasi justru lebih kompeten dibandingkan mereka yang telah mengantongi sertifikasi. Menurutnya, kondisi ini menjadi tamparan bagi lembaga pelatihan filantropi Islam.

“Ini memalukan bagi lembaga pelatihan filantropi Islam. Kita punya PR besar untuk menyusun legalisasi bersama dan peta jalan lembaga pelatihan filantropi Islam,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa sertifikasi seharusnya bukan hanya menjadi formalitas, tetapi benar-benar mencerminkan kompetensi dan kualitas seorang amil. Dalam beberapa kasus, Nana menemukan bahwa mereka yang telah tersertifikasi justru tidak memiliki keterampilan lapangan yang cukup baik dalam mengelola dana umat.

“Kita tidak boleh terjebak dalam proses administratif semata. Sertifikasi harus benar-benar menjadi indikator kompetensi, bukan hanya sekadar kertas formalitas,” imbuhnya.

Sebagai lembaga yang fokus pada pelatihan filantropi, Akademizi terus mengembangkan berbagai strategi untuk meningkatkan kualitas SDM amil. Nana menjelaskan bahwa Akademizi telah menyusun rangkaian program yang berorientasi pada peningkatan kompetensi berbasis praktik dan pengalaman nyata.

Ia mendorong adanya kolaborasi antara berbagai lembaga pelatihan untuk memperkuat ekosistem filantropi Islam di Indonesia.

“Kami tidak ingin melihat lembaga-lembaga pelatihan ini saling bersaing. Yang lebih penting adalah bagaimana kita bisa bekerja sama, berbagi sumber daya, dan membangun sistem yang lebih kuat untuk kepentingan umat,” jelasnya.

Pimpinan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Bidang Pengumpulan, Rizaludin Kurniawan, menegaskan pentingnya membangun amil yang profesional dengan nilai-nilai transendental. Menurutnya, amil berbeda dengan banker, terutama dalam aspek spiritual yang menjadi jembatan utama dalam Islam.

“Amil tidak sebatas mengambil dan mengumpulkan harta. Ada nilai transendental yang menjadikan orang itu suci, bersih, dan mencapai sakinah. Orang yang berzakat hidupnya meningkat, dan ini tidak dikenal dalam dunia perbankan,” ujar Rizal.

Ia menekankan bahwa tugas amil bukan hanya soal pengelolaan dana, tetapi juga menyentuh hati masyarakat. Dalam filantropi Islam, menurutnya, aspek ruhani harus dikembalikan agar nilai zakat lebih bermakna.

Seorang amil, lanjut Rizal, tidak boleh mengeluh ketika ada mustahik yang datang meminta bantuan. Begitu pula, seorang amil harus tetap melayani dengan baik, tanpa melihat penampilan seseorang yang mungkin tidak meyakinkan, tetapi justru datang untuk menunaikan zakatnya.

Rizal juga menyoroti pentingnya lembaga zakat dalam memberikan pelayanan yang setara dengan ritel modern. “Di ritel modern, orang bebas masuk hanya untuk melihat-lihat, tanpa harus diusir. Begitu pula dalam layanan zakat, semua harus dilayani dengan baik,” tambahnya.

Untuk membangun kapasitas amil yang profesional, Rizal menilai pelatihan selama tiga hari belum cukup. Sebagai bentuk uji mental dan keterampilan, ia menyarankan agar calon amil lebih dulu diuji di lampu merah untuk menghimpun dana.

“Melatih amil tidak bisa hanya tiga hari. Kita uji dulu di lapangan, misalnya di lampu merah, agar mereka merasakan langsung tantangan dalam menghimpun dana dan berinteraksi dengan masyarakat,” tutupnya.

 Di akhir acara, seluruh peserta menyepakati hadirnya Forum Literasi Dan Pelatihan Filantropi (FORLIT) yang bahkan mendorong lebih jauh menjadi Asosiasi Literasi dan Training Filantropi (ALTI). Insyaallah langkah lebih operasional hal ini akan dibahas lebih lanjut pada pertemuan selanjutnya sembari acara halal bi halal di Depok, dengan IFI sebagai tuan rumah acaranya. (Yoss)