JAKARTASATU.COM– Politisi Demokrat, Rachland Nashidik mengatakan bahwa TNI aktif ditugasi ke dalam jabatan birokrasi sipil itu ada syaratnya: Jabatan itu harus memiliki irisan dengan fungsi TNI, yaitu pertahanan.
“Dulu, semasa reformasi, ada psikologi politik berbasis trauma kekerasan yang mendorong kita menyapih TNI dari semua bidang—termasuk politik, keamanan dan ekonomi. Seiring waktu, hal itu terbukti tidak semuanya tepat,” kata Rachland di akun X-nya, Ahad.
Menyapih dan memagari TNI dari politik dan bisnis, misalnya, kata dia memang langkah historis yang jitu. “Tapi bagaimana dalam urusan pengelolaan keamanan?”
Penanggulangan trans-national crime seperi Terorisme dan Narkoba, misalnya, jelas kata dia, memiliki irisan dengan fungsi pertahanan TNI. “Jadi bila perwira TNI aktif ditugasi di Badan anti-Terorisme atau Badan anti-narkoba, misalnya, apa masalahnya?” tanyanya.
Gerakan koreksi pada masa reformasi, yang pada satu sisi mengusir dan memisahkan TNI secara absolut dari pengelolaan keamanan nasional; dan pada sisi lain menyerahkan secara absolut pengelolaan kemananan nasional pada Polisi, justru menimbulkan masalah ikutan yang serius yang kini lebih perlu diberi perhatian dan koreksi. “Itulah isu keterlibatan Polisi dalam praktek kehidupan politik dan bisnis,” kata Rachland.
Diskursus di masyarakat tentang “Partai Coklat” mungkin sekali adalah menurut dia ekspresi kesaksian publik tentang mengguritanya abuse of power polisi, khususnya dalam politik dan uang. Hal tersebut memang tidak dikenal pada masa Orba.
“Tapi jika hal tersebut benar, adakah di sini orang yang berani bicara bahwa ‘Partai Cokelat’ dibanding ‘Dwi fungsi ABRI’ tidak membahayakan demokrasi?”
“Belum rumor tentang pengelolaan bisnis Narkoba dan Judi oleh Polisi, yang memberi ‘Partai Cokelat’ leverage untuk ikut terlibat dalam praktek politik. Yakin itu semua, bilamana benar, kurang berbahaya daripada isyu ‘kembalinya dwi-fungsi ABRI?’” imbuhnya.
Tentu saja pembahasan RUU TNI menurut dia perlu transparan dan partisipatif. Trauma historis pada kekerasan TNI, bagaimanapun juga, adalah kenyataan sosial.
“Tapi yang perlu juga diingat: penolakan pada dwifungsi ABRI sesungguhnya ada pada semua kalangan, termasuk ada dan kuat pada Partai-partai Politik — bukan hanya pada kalangan LSM,” kata Rachland.
Menurut dia, partai politiklah yang paling berkepentingan agar sejarah tidak diputar ulang. Sebab salah satu korban yang segera dari “kembalinya dwifungsi ABRI” kata dia justru adalah partai partai politik.
Ia pun mengajak agar kawal pembahasan RUU TNI. Pastikan bahwa penambahan jabatan sipil bagi TNI aktif, yang sedang diributkan itu, benar benar memiliki irisan dengan fungsi pertahanan.
“Itu sebaiknya ukuran utama. Terima apa yang sesuai. Tolak apa yang tak cukup beralasan,” katanya.
“Sebagai penutup, saya sepenuhnya setuju TNI harus tunduk pada pengadilan pidana sipil. Tapi sejujurnya, tanpa ideal yang masih harus diperjuangkan itu, pada kenyataannya Dwifungsi ABRI tidak pernah kembali pada Kepolitikan Indonesia — baik semasa reformasi dan setelahnya, hingga hari ini,” tandasnya. (RIS)