Gelombang Militerisasi: Belajar dari Dunia
CATATAN Aendra MEDITA*)
Di tengah upaya banyak negara untuk membangun militer profesional yang tunduk pada otoritas sipil, Indonesia justru menghadapi wacana revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang berpotensi memperluas peran militer di wilayah sipil.
Jika revisi ini disahkan, Indonesia bisa bergeser ke arah militerisme yang mengancam demokrasi—sebuah langkah yang bertentangan dengan tren global. Dalam sejarah modern, dunia telah banyak belajar dari pengalaman pahit pemerintahan militer. Dari Amerika Latin hingga Afrika, dari Eropa hingga Asia, keterlibatan militer dalam urusan sipil hampir selalu berujung pada penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran HAM, dan stagnasi demokrasi.
Lantas, bagaimana posisi Indonesia dalam konteks ini? Apakah kita sedang bergerak maju seperti negara-negara demokratis lainnya, atau justru menuju arah sebaliknya?
Tren Global: Sipilisasi Militer, Bukan Militerisasi Sipil
Banyak negara yang dulu pernah mengalami rezim militer kini berupaya keras menegakkan supremasi sipil.
Misalnya Amerika Latin: Negara-negara seperti Argentina, Brasil, dan Chile yang pernah mengalami kediktatoran militer di abad ke-20 kini menetapkan batas tegas antara militer dan sipil. Mereka membatasi peran militer hanya pada pertahanan eksternal dan menjauhkan mereka dari politik dan keamanan domestik.
Afrika: Nigeria, yang dulu sering mengalami kudeta militer, kini memiliki mekanisme yang lebih ketat untuk mencegah intervensi militer dalam pemerintahan sipil. Reformasi dilakukan dengan membangun akuntabilitas dalam tubuh militer dan mengalihkan semua urusan sipil ke tangan aparat non-militer.
Eropa: Jerman, setelah Perang Dunia II, membangun Bundeswehr (angkatan bersenjata) dengan prinsip “Parlamentsheer”—artinya, militer sepenuhnya tunduk pada keputusan parlemen dan tidak memiliki kebebasan untuk bertindak tanpa otoritas sipil.
Asia: Jepang, sebagai negara dengan sejarah militerisme yang agresif sebelum Perang Dunia II, kini memiliki konstitusi yang membatasi penggunaan kekuatan militer hanya untuk pertahanan diri. Mereka juga secara ketat menghindari keterlibatan militer dalam urusan domestik. Semua contoh ini menunjukkan bahwa negara-negara yang ingin maju memilih untuk mengurangi peran militer dalam kehidupan sipil, bukan sebaliknya.
Indonesia: Menuju Militerisme Baru?
Jika revisi UU TNI memungkinkan militer kembali aktif dalam urusan sipil—seperti pengamanan dalam negeri, pengelolaan kebencanaan, bahkan tugas pemerintahan lainnya—Indonesia berisiko mengalami militerisasi bertahap. Peningkatan peran militer dalam politik dan pemerintahan bisa menciptakan preseden buruk, seperti:
1. Kemunduran Demokrasi: Militer yang diberi keleluasaan di ranah sipil cenderung sulit dikendalikan oleh pemerintahan sipil. Ini bisa melemahkan supremasi hukum dan menghambat partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi.
2. Ancaman terhadap HAM: Militer secara institusional tidak didesain untuk menangani persoalan sipil dengan pendekatan humanis. Keterlibatan mereka dalam urusan sipil berpotensi meningkatkan kasus kekerasan, represi, dan pelanggaran HAM.
3. Tumpang Tindih Kewenangan: Ketika TNI mulai mengambil peran yang seharusnya dijalankan oleh Polri atau institusi sipil lainnya, terjadi kebingungan hukum dan perebutan kewenangan yang bisa berujung pada instabilitas birokrasi.
4. Kurangnya Akuntabilitas: Militer memiliki sistem peradilan sendiri, yang selama ini kerap dinilai kurang transparan. Jika peran mereka diperluas, siapa yang akan memastikan mereka bertanggung jawab atas tindakan mereka terhadap warga sipil?
Reformasi Militer yang Seharusnya
Alih-alih memperluas peran militer ke wilayah sipil, Indonesia seharusnya fokus pada reformasi yang memperkuat profesionalisme TNI, seperti:
Modernisasi Alutsista: Fokus utama TNI seharusnya adalah meningkatkan kapasitas pertahanan negara, bukan ikut campur dalam politik atau keamanan sipil.
Peningkatan Kesejahteraan Prajurit: Banyak anggota TNI masih menghadapi masalah kesejahteraan, mulai dari gaji yang rendah hingga fasilitas yang kurang memadai. Ini lebih mendesak untuk diperbaiki dibandingkan dengan memperluas peran mereka ke ranah sipil.
Mungkinkah Pemisahan Tugas dengan Polri? Kejelasan batas tugas antara TNI dan Polri harus dipertahankan agar tidak terjadi duplikasi peran dan konflik kepentingan.
Jangan Ulangi Kesalahan Sejarah
Dunia telah banyak belajar dari kesalahan masa lalu: ketika militer diberi kekuasaan berlebih di wilayah sipil, demokrasi akan melemah. Indonesia harus memilih jalannya dengan bijak. Jika revisi UU TNI ini disahkan, kita bukan hanya mengkhianati semangat reformasi, tetapi juga mempertaruhkan masa depan demokrasi kita.
Sejarah telah menunjukkan bahwa kebebasan yang hilang sulit untuk dikembalikan. Jangan biarkan Indonesia menjadi pengecualian di saat dunia sedang bergerak ke arah yang lebih demokratis.***
*)Analis di Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI) Jakarta dan pemerhati sosial Bangsa.
Catatan dari Cilandak, 17 Maret 2025