Supremasi Sipil: Demokrasi atau Anarkisme yang Dikendalikan?

Sebuah catatan Redaksi

Supremasi sipil adalah salah satu pilar utama dalam sistem demokrasi. Prinsip ini menegaskan bahwa kekuasaan berada di tangan sipil, bukan militer. Namun, dalam praktiknya, supremasi sipil di Indonesia tampaknya mulai bergeser ke arah yang mengkhawatirkan.

Apa yang dulu dianggap sebagai upaya memperkuat demokrasi kini justru menunjukkan tanda-tanda penyimpangan, bahkan bisa mengarah pada anarkisme dan premanisme politik.

Ada pernyataan Faizal Assegaf mengenai pergeseran supremasi sipil menjadi supremasi anarkisme dan premanisme kampus menarik untuk dicermati. Ia mengkritisi ketimpangan dalam diskursus politik yang hanya menyoroti keterlibatan TNI dalam ruang eksekutif, tetapi mengabaikan dominasi kepolisian dan politisi sipil yang rangkap jabatan di berbagai sektor, mulai dari partai politik hingga BUMN.

Ketidakkonsistenan Demokrasi Salah satu pertanyaan yang perlu diajukan adalah: mengapa keterlibatan TNI dalam pemerintahan selalu menjadi isu besar, sementara dominasi polisi dan politisi sipil yang rangkap jabatan di berbagai lembaga tidak dianggap sebagai masalah serius?

Apakah supremasi sipil benar-benar diterapkan demi demokrasi, atau hanya menjadi alat politik bagi kelompok tertentu?

Dalam banyak kasus, supremasi sipil seharusnya membawa keseimbangan antara kekuatan sipil dan militer.

Namun, ketika supremasi sipil berubah menjadi alat untuk kepentingan politik tertentu, hasilnya justru bisa menciptakan ketidakstabilan. Bukan tidak mungkin, dalam kondisi seperti ini, kekuatan sipil yang seharusnya membawa keteraturan justru menjadi pemicu anarkisme baru.

Gerakan Mahasiswa dan Premanisme Kampus Mahasiswa selalu menjadi simbol gerakan perubahan. Namun, di tengah situasi politik yang makin kompleks, pertanyaan lain muncul: apakah gerakan mahasiswa saat ini masih murni, atau justru telah dimanfaatkan oleh kekuatan politik tertentu?

Ketika mahasiswa turun ke jalan, idealnya mereka membawa aspirasi rakyat, bukan kepentingan kelompok. Namun, dalam realitasnya, banyak gerakan mahasiswa yang di belakangnya terdapat aktor-aktor berkepentingan.

Jika hal ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin gerakan mahasiswa yang dulunya idealis malah berubah menjadi alat politik yang diarahkan untuk menciptakan instabilitas. Jika ini terjadi, maka supremasi sipil bukan lagi tentang demokrasi, melainkan tentang kekacauan yang dikendalikan.

Siapa yang Diuntungkan?

Faizal Assegaf menyebut bahwa kegaduhan yang muncul akibat supremasi sipil yang tidak terkendali justru menguntungkan kelompok politik tertentu, seperti PDIP dan Jokowi.

Ini menunjukkan bahwa ada skenario politik yang bermain di balik isu ini. Jika supremasi sipil terus digerakkan dengan pola yang tidak seimbang, maka akan semakin sulit bagi rakyat untuk membedakan mana gerakan yang benar-benar murni dan mana yang sekadar rekayasa politik.

Akhirnya Demokrasi Perlu Keseimbangan Supremasi sipil seharusnya tidak menjadi dalih untuk melemahkan satu institusi sambil membiarkan institusi lain tumbuh tanpa kontrol. Jika supremasi sipil hanya digunakan sebagai alat politik, maka ia akan kehilangan maknanya sebagai penjaga demokrasi.

Gerakan mahasiswa juga harus lebih waspada agar tidak terjebak dalam skenario politik yang bisa merusak idealisme mereka.

Mahasiswa harus tetap menjadi agen perubahan yang murni, bukan alat untuk menciptakan instabilitas yang pada akhirnya hanya menguntungkan segelintir elite. Demokrasi membutuhkan kebebasan berpikir, tetapi kebebasan itu juga harus diiringi dengan tanggung jawab.

Jika supremasi sipil berubah menjadi supremasi anarkisme, maka yang terjadi bukanlah demokrasi, melainkan kekacauan yang dikendalikan.  Apakah supremasi sipil saat ini benar-benar menjaga demokrasi, atau justru mulai melenceng ke arah lain? Tabik..!!!