EDITORIAL JAKARTASATU.COM: Teror Media, Cara Kuno Merusak Demokrasi
DI negeri yang mengaku demokratis, kebebasan pers seharusnya menjadi pilar utama yang dijaga, bukan justru menjadi sasaran ancaman dan teror. Namun, kenyataan berbicara lain.
Ancaman terhadap media independen seperti Tempo menunjukkan betapa kebebasan pers masih dianggap sebagai musuh oleh pihak-pihak yang merasa terganggu dengan keberanian jurnalis mengungkap kebenaran.
Serangan ini bukan hanya ditujukan kepada Tempo sebagai institusi, melainkan terhadap seluruh ekosistem jurnalisme yang berintegritas. Ketika sebuah media diteror, dengan kiriman kepala Babi, itu adalah sinyal bagi seluruh masyarakat bahwa ada kekuatan gelap yang ingin membungkam suara kritis.
Ini bukan sekadar tekanan terhadap satu atau dua jurnalis, tetapi sebuah upaya sistematis untuk menekan kebebasan berbicara dan mengaburkan transparansi.
Teror: Senjata Primordial yang Sudah Kadaluarsa
Menggunakan ancaman dan kekerasan untuk membungkam pers adalah strategi usang yang sudah tidak relevan di era keterbukaan informasi. Ini adalah cara kuno yang sering dipakai oleh penguasa otoriter yang takut kebobrokannya terungkap.
Sayangnya, meski dunia telah bergerak maju, masih ada pihak yang memilih pendekatan kampungan ini untuk mempertahankan kepentingannya. Sejarah membuktikan bahwa metode teror tidak pernah benar-benar berhasil membungkam kebenaran. Setiap kali ada upaya untuk menekan kebebasan pers, selalu muncul perlawanan yang lebih besar.
Media jika semakin ditekan, semakin kuat solidaritas yang terbangun. Mereka yang menggunakan teror justru sedang menggali lubang bagi kehancuran mereka sendiri.
Pers Tidak Boleh Mundur, Publik Harus Bersolidaritas Di tengah situasi yang semakin menekan, hanya ada satu respons yang bisa diberikan oleh media independen: tidak boleh mundur selangkah pun.
Justru inilah saatnya bagi jurnalis dan media untuk semakin teguh dalam menjalankan tugasnya. Kebenaran harus terus diberitakan, korupsi harus tetap dibongkar, dan mereka yang merasa terganggu harus sadar bahwa pers adalah pilar demokrasi yang tidak bisa dihancurkan dengan ancaman.
Namun, perlawanan terhadap teror media tidak bisa hanya menjadi tugas jurnalis semata. Publik juga harus turun tangan. Masyarakat yang sadar akan pentingnya kebebasan pers harus memberikan dukungan penuh kepada media independen. Sebab, ketika pers diberangus, yang dirugikan bukan hanya jurnalis, tetapi seluruh rakyat yang berhak mendapatkan informasi yang jujur dan transparan.
Jangan Biarkan Kegelapan Menguasai Jika teror terhadap media terus dibiarkan, kita sedang membuka jalan bagi kegelapan baru di negeri ini.
Demokrasi tanpa kebebasan pers hanyalah ilusi. Dan ketika kekuatan-kekuatan gelap berusaha membungkam media dengan ancaman dan kekerasan, atau teror kampungan kuno hanya ada satu jawaban yang harus diberikan: lawan!
Sebab, ketika kebebasan pers mati, yang tersisa hanyalah tirani. (ed/jaksat)