Kajian Politik Merah Putih: Reformasi 98 Lahirkan Generasi Penjilat Kekuasaan
JAKARTASATU.COM— Koordinator Kajian Politik Merah Putih, Sutoyo Abadi, baru-baru ini menyampaikan pandangannya yang tajam tentang dampak Reformasi 98 terhadap perkembangan politik dan generasi penerus bangsa. Sutoyo menilai bahwa Reformasi 98, yang seharusnya menjadi momentum kebangkitan nasional, justru melahirkan generasi yang menurutnya lebih condong kepada kekuasaan, tanpa rasa malu dan penuh kepentingan pribadi. Menurutnya, generasi ini tidak hanya mengejar kekuasaan, tetapi juga rela ‘menjilat’ untuk meraih posisi di struktur politik yang lebih tinggi.
Sutoyo Abadi mengungkapkan bahwa Reformasi 98, yang dia nilai sebagai tonggak perubahan besar di Indonesia, tidak lebih dari sekadar proses “ganti baju” bagi negara ini. Di mata Sutoyo, sistem yang semula didasarkan pada ideologi Pancasila dan UUD 1945 (asli) kini bergeser menjadi kapitalisme dengan dominasi oligarki yang semakin kuat.
Bagi Sutoyo, Reformasi yang seharusnya mengusung perubahan fundamental pada tatanan politik dan ekonomi Indonesia justru lebih banyak menghadirkan pertukaran kepentingan antara elit politik dan para pengusaha besar.
Menurut Sutoyo, perubahan yang terjadi pasca-Reformasi justru membawa Indonesia keluar dari spirit Proklamasi 17 Agustus 1945. “Bangsa ini mulai keluar dari jalur ideologi yang dipilih oleh para pendiri bangsa. Reformasi 98 lebih mirip upaya untuk mengganti baju, bukan untuk membangun sebuah negara yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila,” katanya kepada Jakartasatu.com, Rabu (26/3/2025).
Sutoyo juga menyebutkan bahwa dalam proses ini, banyak pihak yang seolah-olah berteriak untuk membela rakyat dan reformasi, tetapi sebenarnya lebih mementingkan diri mereka sendiri. Mereka, menurutnya, adalah generasi yang bertransformasi menjadi penjilat kekuasaan, yang tanpa rasa malu mengumbar klaim sebagai bagian dari angkatan 98, meskipun tidak menunjukkan integritas dalam perjuangan politik mereka.
Selain menyoroti pergantian sistem politik, Sutoyo juga mengkritik munculnya generasi baru yang ia sebut “buta sejarah”. Menurutnya, sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang sesungguhnya telah sengaja ditutup rapat-rapat dan digantikan dengan pendidikan yang lebih mengarah pada penguatan paham kapitalisme yang berlandaskan pada kepentingan oligarki.
“Generasi muda kini banyak yang tidak lagi mengenal perjuangan para pendiri bangsa. Mereka lebih banyak dibentuk untuk mengikuti logika pasar dan kepentingan kapitalis,” ujarnya.
Sebagai contoh, Sutoyo menyinggung perubahan dalam kurikulum pendidikan sejarah Indonesia yang dianggapnya semakin diperkecil ruangannya, sementara ideologi yang berkembang adalah paham ekonomi kapitalis yang cenderung menguntungkan kalangan tertentu. Menurutnya, sistem pendidikan yang berkembang sejak Reformasi lebih banyak mengajarkan nilai-nilai yang mendukung konsumerisme dan individualisme, yang jauh dari nilai-nilai kebangsaan yang digagas oleh Soekarno, Hatta, dan para pendiri bangsa.
Lebih lanjut, Sutoyo menyatakan bahwa generasi yang mengklaim sebagai bagian dari Reformasi 98 sebenarnya bukanlah kelompok yang memiliki kesadaran politik yang sejati. Dalam pandangannya, mereka lebih banyak menjadi kelompok yang disusupkan ke dalam gerakan mahasiswa saat itu, yang disebutnya sebagai generasi “Trojan Horse”. Istilah ini merujuk pada gambaran bahwa kelompok ini sebenarnya adalah “pembawa misi tersembunyi” yang baru sekarang mulai menunjukkan wajah aslinya.
Menurut Sutoyo, banyak dari mereka yang terlibat dalam gerakan Reformasi 98 bukanlah pejuang sejati yang mengusung nilai-nilai perubahan, tetapi lebih merupakan kaum binaan yang disusupkan oleh kepentingan luar, termasuk kelompok-kelompok yang memiliki agenda politik tertentu.
“Mereka bukanlah pejuang kemerdekaan sejati, melainkan kaum yang disusupkan ke dalam gerakan mahasiswa pada waktu itu. Seperti sebuah Trojan Horse, mereka baru sekarang mulai memperlihatkan siapa mereka sebenarnya,” kata Sutoyo.
Ia bahkan menyebut kemungkinan bahwa beberapa dari mereka yang terlibat dalam gerakan Reformasi 98 adalah kader-kader dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang disusupkan untuk menggiring arah perjuangan politik negara menuju suatu sistem yang lebih mendekati kapitalisme dan oligarki, meskipun pada saat itu mereka terlihat seperti pembela perubahan yang idealis.
Sutoyo menekankan bahwa perubahan yang terjadi pasca-Reformasi sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan kekuasaan, dan hal ini tidak bisa dipungkiri. Reformasi 98 yang dimulai dengan gerakan mahasiswa yang membawa tuntutan untuk mengakhiri pemerintahan Orde Baru akhirnya melahirkan sistem yang lebih berpihak pada kelompok kapitalis dan oligarki. Para penguasa baru pasca-reformasi pun menurut Sutoyo seringkali menunjukkan sikap yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok mereka, dibandingkan dengan aspirasi rakyat yang diharapkan dapat terwujud dalam perubahan tersebut.
“Mereka yang mengklaim sebagai bagian dari angkatan 98, pada kenyataannya, bukanlah pembela rakyat. Mereka lebih banyak ‘menjilat’ kekuasaan untuk mempertahankan posisi dan pengaruh mereka di struktur politik Indonesia,” ungkapnya dengan penuh sindiran.
Ia juga menyoroti beberapa tokoh yang dulu terlibat dalam Reformasi 98 yang kini tampak berubah haluan, dengan memihak pada kekuatan kapitalis dan oligarki, serta terlibat dalam praktik politik yang menurut Sutoyo jauh dari cita-cita Reformasi itu sendiri.
Mencari Jalan Kembali ke Pancasila dan UUD 1945
Di akhir wawancara, Sutoyo menegaskan bahwa jalan satu-satunya untuk mengembalikan Indonesia ke jalur yang benar adalah dengan kembali menegakkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan utama negara ini. Menurutnya, bangsa ini harus segera menghentikan proses “ganti baju” yang selama ini terjadi dan mulai membangun kembali negara yang berdasarkan pada nilai-nilai yang digagas oleh para pendiri bangsa.
“Reformasi memang penting, tetapi jika kita terus mengabaikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945, maka kita akan semakin jauh dari tujuan negara ini didirikan. Kita harus kembali ke akar perjuangan bangsa ini untuk membangun negara yang benar-benar adil dan makmur,” tegas Sutoyo.
Pernyataan dari Sutoyo Abadi ini tentu saja membuka kembali perdebatan tentang apakah Reformasi 98 telah benar-benar membawa Indonesia pada perubahan yang lebih baik, atau justru hanya menjadi sebuah proses transisi yang mengganti satu bentuk kekuasaan dengan bentuk kekuasaan lainnya yang lebih kapitalistik dan oligarkis. Seiring berjalannya waktu, masyarakat akan terus melihat dampak dari reformasi ini, terutama dalam konteks politik dan ekonomi yang semakin berkembang. (Yoss)