
KAJ Jatim Desak Polda Jatim Tindaklanjuti Laporan Kasus Intimidasi dan Kekerasan Polisi terhadap Jurnalis Beritajatim.com
JAKARTASATU.COM – Insiden kekerasan yang dialami Rama Indra, jurnalis Beritajatim.com, saat meliput aksi penolakan revisi Undang-Undang TNI di Surabaya, kembali menegaskan urgensi perlindungan terhadap kebebasan pers di Indonesia. Kejadian ini tidak hanya menambah daftar panjang kasus intimidasi terhadap jurnalis, tetapi juga mencerminkan kegagalan aparat kepolisian dalam memahami dan menjalankan prinsip demokrasi.
Berdasarkan laporan Komite Advokasi Jurnalis (KAJ) Jawa Timur, Rama mengalami serangkaian kekerasan fisik dan intimidasi oleh 4-5 orang yang diduga anggota kepolisian, baik berseragam maupun berpakaian preman. Mereka merampas perangkat liputannya, memaksa penghapusan rekaman video, serta melakukan pemukulan yang mengakibatkan luka-luka di bagian kepala, tangan, dan punggung. Kasus ini telah dilaporkan ke Polda Jawa Timur dengan nomor LP/B/438/III/2025/SPKT/Polda Jatim, mencakup pasal terkait kebebasan pers dan penganiayaan.
Sebuah Pola yang Berulang
Kasus Rama bukanlah yang pertama. Pada tahun 2021, jurnalis Tempo, Nurhadi, juga mengalami penganiayaan oleh aparat saat menjalankan tugas jurnalistiknya. Kasus itu berakhir dengan vonis terhadap dua oknum polisi. Namun, meski ada preseden hukum, kekerasan terhadap jurnalis masih terus terjadi.
Berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sepanjang tahun 2024 terdapat 56 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia, di mana 40% di antaranya melibatkan aparat kepolisian. Ini menandakan adanya pola impunitas yang terus berulang, di mana tindakan represif terhadap pers tidak diikuti dengan sanksi tegas bagi pelaku di dalam institusi kepolisian.
Kebebasan pers merupakan pilar utama demokrasi. Intimidasi terhadap jurnalis tidak hanya membatasi hak individu untuk bekerja secara profesional, tetapi juga menghambat hak publik untuk memperoleh informasi yang akurat dan transparan. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Pers dengan jelas melindungi jurnalis dari segala bentuk kekerasan dalam menjalankan tugasnya. Namun, lemahnya implementasi hukum memperburuk situasi, di mana jurnalis menjadi sasaran empuk bagi aparat yang enggan transparan terhadap pemberitaan.

Tuntutan KAJ Jatim
KAJ Jatim menuntut Polda Jawa Timur untuk menindaklanjuti laporan ini secara serius, termasuk mengidentifikasi dan memproses hukum para pelaku. Mereka juga mendesak pemerintah untuk memperkuat mekanisme perlindungan terhadap jurnalis agar kasus serupa tidak terus berulang.
Penting bagi masyarakat sipil, organisasi pers, dan lembaga hukum untuk mengawal kasus ini guna memastikan bahwa keadilan ditegakkan. Jika dibiarkan, impunitas akan semakin mengakar dan menjadi ancaman nyata bagi masa depan jurnalisme Indonesia.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa demokrasi yang sehat membutuhkan pers yang bebas dan aman. Tanpa itu, transparansi dan akuntabilitas pemerintah hanya akan menjadi ilusi.|WAW-JAKSAT