Tantangan Pustakawan di Era AI

Oleh: Rokhmat Widodo, Pemerhati Literasi dan Kader Muhammadiyah Kudus

Dina adalah seorang pustakawan yang telah mengabdi selama lebih dari 15 tahun di sebuah perpustakaan universitas ternama. Setiap pagi, ia dengan semangat menyusun katalog buku, membantu mahasiswa mencari referensi, dan sesekali mengadakan diskusi literasi. Namun, dalam lima tahun terakhir, Dina merasakan perubahan yang begitu besar. Mahasiswa yang dulu datang untuk bertanya langsung kini lebih memilih bertanya pada ChatGPT atau Google. Permintaan katalog manual semakin jarang, digantikan oleh sistem pencarian otomatis berbasis AI. Bahkan, rektorat kampus mulai mempertimbangkan untuk menggantikan beberapa layanan perpustakaan dengan chatbot berbasis kecerdasan buatan.

Dina pun bertanya-tanya, “Apakah pustakawan masih relevan di era AI ini?”

Pertanyaan itu bukan hanya milik Dina, tetapi juga ribuan pustakawan lainnya yang menghadapi tantangan serupa.

Sejak kemunculan AI generatif, perpustakaan mengalami transformasi yang signifikan: Pertama, otomatisasi katalog dan referensi. Sebelumnya, pustakawan mengelola katalog manual, tetapi kini sistem berbasis AI mampu mengindeks, mengelola, dan merekomendasikan buku secara otomatis. Sistem seperti OPAC (Online Public Access Catalog) dan AI-powered search engine seperti Google Scholar telah menggantikan banyak peran pustakawan dalam pencarian referensi akademik.

Kedua, chatbot dan asisten virtual. Beberapa perpustakaan telah mengadopsi chatbot berbasis AI untuk melayani pertanyaan pengguna selama 24 jam. Misalnya, sistem AI bisa memberikan ringkasan buku, rekomendasi bacaan, hingga menjawab pertanyaan kompleks yang sebelumnya menjadi tugas pustakawan.

Ketiga, perubahan peran pustakawan. Dahulu, pustakawan bertindak sebagai “penjaga ilmu” yang memastikan pengguna mendapatkan sumber informasi yang valid. Kini, peran itu mulai bergeser ke arah fasilitator informasi, edukator literasi digital, dan bahkan kurator data di era informasi yang membanjir.

Meskipun AI menawarkan efisiensi, ada beberapa tantangan besar yang dihadapi pustakawan: Pertama, relevansi profesi di tengah otomatisasi. Dengan banyaknya sistem otomatisasi, peran pustakawan sebagai pencari informasi mulai tergantikan. Banyak institusi yang mempertimbangkan untuk mengurangi jumlah pustakawan dan menggantinya dengan teknologi yang lebih hemat biaya.

Kedua, literasi digital yang belum merata. Tidak semua pustakawan memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan teknologi AI. Sebagian masih bergantung pada metode konvensional dan merasa kesulitan mengikuti perkembangan digital.

Ketiga, tantangan etika dan validitas informasi. AI mampu memberikan jawaban instan, tetapi belum tentu semuanya akurat atau etis. Pustakawan masih dibutuhkan untuk memastikan bahwa informasi yang disebarkan memiliki validitas akademik dan bukan hasil dari bias algoritma.

Keempat, kompetisi dengan Tteknologi AI dalam penyajian informasi. AI mampu mengkurasi dan menganalisis data dalam hitungan detik, sementara pustakawan membutuhkan waktu lebih lama untuk proses yang sama. Ini membuat pengguna lebih memilih AI dibandingkan interaksi langsung dengan pustakawan.

Di era AI, pustakawan bukanlah profesi yang akan punah, tetapi profesi yang harus berevolusi. Teknologi tidak seharusnya dianggap sebagai ancaman, melainkan sebagai alat yang bisa meningkatkan efektivitas layanan perpustakaan.

Kisah Dina mungkin mewakili banyak pustakawan yang merasa gamang menghadapi perubahan ini. Namun, dengan semangat untuk terus belajar dan beradaptasi, pustakawan tetap memiliki peran krusial dalam menjaga literasi dan kualitas informasi di era digital.

Sebagai penutup, sebuah pertanyaan penting untuk direnungkan: “Jika AI bisa mencari informasi dengan cepat, apakah kita masih membutuhkan pustakawan?”

Jawabannya, Ya! Karena AI bisa memberikan jawaban, tetapi pustakawan yang memastikan jawaban itu benar.