Banyak Tokoh Terpancing Komentari Statemen Murahan “Kepala Babi Dimasak Saja”

Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

Ikhtisar: Sarkastik makan babi adalah super sarkas atau biadab jika ditujukan kepada seorang individu muslim atau kelompok Islam

Pengantar

Tadinya penulis emoh ikut mengomentari “kepala babi dimasak, goreng, sate lalu dimakan”, karena penulis merasa, hal kepala babi benaran ini, merupakan atraksi teknik alih isu dengan modal murah namun hasilnya mahal dan meriah dan biasa dipraktekkan Jokowi, sebagai “politik pecah batu konsentrasi pada sebuah peristiwa masalah yanag mesti fokus dan konsisten bagi para pejuang justru konsentrasi berubah menjadi ambyarrr”.

Akhirnya penulis pun, terpancing tuk nimbrung, mengupas terkait ‘masak kepala babi’ yang dikirimkan ke alamat kantor Tempo, namun tetap seperti biasa, akan berusaha menyampaikan materi narasi se objektivitas mungkin.

Entah siapa pengirimnya, apakah sekedar iseng yang entah berasal dari sosok individu atau dari sebuah kelompok yang menunjukan ketidaksukaan kepada kantor media Tempo, lembaga pers papan atas yang cukup produktif dengan “komoditi” jurnalistik dibidang politik, ekonomi dan hukum serta nampak serasa khususnya Tempo mensupport budaya dengan metodologi yang deskripsinya condong sekuleristik.

Namun kupasan terkait perspektif kontradiktif publik terkait kandungan kepastian terhadap parcel ‘haram’ alhamdulilah tidak ada seorang tokoh Partai PSI pun, yang men-judge si pengirim kepala babi dimaksud adalah individu muslim atau kelompok islam teroris, mungkin illogical dialamatkan pelakunya terhadap masyarakat mayoritas muslim yang mengharamkan hewan tersebut, terlebih dalam bentuk bangkai kepala babi tersebut, namun tetap saja mengusik umat muslim dan riil berdampak kegaduhan publik umumnya, selain  peristiwanya terjadi di bulan suci Ramadhan. Tentunya andai diketahui siapa subjek pelaku pengirim dan pemiliknya, maka si pelaku dapat beresiko hukum, minimal bakal mendapat sanksi moral dan historis catatan hitam dari publik.

Dan logis andai diduga kuat parcel kepala babi dilatarbelakangi ketidaksukaan, bahkan tanda marah atau bentuk kebencian, terkait sebab apa? Tentu ada benang merah kausalitas, tidak ujug- ujug, diyakini penyebabnya tidak jauh dari aktifitas karya liputan jurnalistik Tempo, yakni ‘pemberitaan terhadap sebuah atau beberapa peristiwa’.

Pendahuluan

Diluar daripada siapa subjek hukum pengirim kepala babinya, maka Penanggap setuju pendapat narasi seorang tokoh aktivis politik dan kemanusiaan sosok pakar/ ahli telematika dan IT yang berjuang secara konsisten Dr. Roy Suryo bahwa statemen dari Hasan Hasbi adalah bukan pernyataan dari penguasa tertinggi istana negara Prabowo Subianto, dan tambahan perspektif penulis terhadap statemen Hasan Nasbi justru ‘nisbi wujud kebencian yang inheren’ dengan isi hati Hasan Nasbi yang akhirnya ramai melahirkan asumsi publik sebagai bentuk support Nasbi terhadap subjek tak jelas faktualitasnya selaku pengirim Kepala Babi yang pengejawantahan tanda dukungan Nasbi melalui ‘ucapannya’ yang ditujukan kepada individu atau seluruh awak media Tempo, yang dikemas melalui kalimat yang substansial dipahami sebagai ungkapan sarkastik, yakni gaya bahasa dengan jenis kata sifat, yang secara luas dan mendalam terhadap jenis kata sifat yang disampaikan Oleh Nasbi  dapat dimaknai oleh pendapat masyarakat umum secara objektif dan khususnya Muslim secara subyektif namun objektif karena faktor doktrinasi/ keimanan, yang dari sisi terminologi sarkasme merupakan bentuk kata-kata super pedas dan atau amat kejam, terhadap makna “yah gak apa dimasak aja dinikmati, dijadikan sop atau direndang dimakan kepala babinya”. Dan oleh sebab selain memang arti kata sarkasme (Yunani) adalah kejam atau pedas (bak benda tajam mencabik-cabik tubuh/ daging), terlebih terhadap babi adalah binatang/hewan yang haram bagi umat Islam tuk dikonsumsi.

Ungkapan Nasbi dapat dianalogikan sebagai diskursus politik tendensius, dengan memperalat parcel ‘barang haram’ dimaksud, melalui ucapan komentarnya yang dia ketahui bahkan disengaja (untuk) dipublis “karena diungkap dihadapan insan pers’.

Agar perspektif mengandung objektifitas, maka analisa publik harus proporsional, sehingga logika opini publik mesti komprehensif disanding dan didasari dengan berbagai data empirik yang dapat membangun intelektualitas dengan konsep berpikir tidak apriori dari sekedar merujuk ucapan Nasbi yang tok terkait kepala babi, maka ideal dihubungkan dengan kronologis yang ada kausalitas atau benang merah lahirnya peristiwa pemberitaan dalam bentuk komentar Hasbi yang kontroversial saat ini (kontemporer) dengan komparasi utamanya terhadap peristiwa pemberitaan yang dahulu yang pernah menjadi polemik akibat peristiwa hukum yang diekspos oleh Tempo yang dirasa telah menyudutkan ‘tuan besarnya’ Hasan Nasbi yakni Jokowi dan tentu tak terlepas dari Pemberitaan Tempo atas Keluhan Aguan terkait IKN dan PSN PIK 2 terhadap Jokowi, mantan penguasa yang kini sedang di terpa teror ‘dugaan kuat publik sebagai pengguna ijazah palsu S.1 dari Fakultas Kehutanan UGM.

Hasan Nasbi Nisbi Lupa Status Jabatan dan Sepenggal Historis

Mungkin faktor kebiasaan (habitat) mem-buzzer sehingga trend bagi sosok Nasbi, karena ucapan “makan saja kepala babi”, maka nampak gairah Nasbi cenderung untuk merefleksikan diri sebagai buzzer, sehingga lupa status bahwa dirinya kini merupakan sosok intelektual selain berposisi birokrat di Kabinet Merah Putih/ KMP dengan posisi sebagai Kepala Komunikasi Kepresidenan Republik Indonesia, sebagai   loyalis  ‘titipan Jokowi’ sejak 21 Oktober 2024.

Tentunya termasuk pemberitaan Tempo terhadap diri Nasbi sendiri saat resmi bercokol sebagai buzzer (pro sosok) junjungannya yang dipertuan Tuan Jokowi.

Secara historis Nasbi pernah tercatat menjadi pendukung fanatik pasangan Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) oleh Tempo pada Pemilihan Gubernur atau Pilgub DKI Jakarta 2012 dan ternyata sosok Nasbi juga menjadi bahan pemberitaan Tempo yang tayang pada 20 Juni 2016 dengan judul “Semua Tuduhan Itu Gosip”, sedangkan Hasan Nasbi sebagai pendiri lembaga survei Cyrus Network untuk kemenangan Jokowi-Ahok di Pilkada DKI 2012 kekeh saat itu telah menyangkal menerima uang Rp 30 miliar. Dia bergeming saat disebutkan oleh Tempo, “bahwa informasi soal aliran sudah sampai ke KPK dan penyidik KPK sudah memeriksa anak buahnya di jejaring survey Cyrus Network pada April 2016”.

Tempo juga pernah memuat berita, KPK memeriksa Hasan Nasbi selaku CEO PT Cyrus Nusantara pada Jumat, 23 Desember 2016. Kutipan Tempo adalah hasil keterangan juru bicara KPK saat itu (Febri Diansyah) yang  mengatakan, “lembaga antirasuah akan memeriksa Hasan Nasbi sebagai saksi atas tersangka suami Wali Kota Cimahi nonaktif Atty Suharti, M. Itoc Tochija terkait kasus proyek pembangunan Pasar Atas Baru Cimahi tahap II pada 2017. Namun diketahui akibat gencarnya pemberitaan Tempo, tentang Cyrus menerima kontrak senilai Rp 1,4 miliar sebagai bayaran atas konsultasi Atty, akibatnya uang 1, 4 miliar yang terkait ‘kontrak kejahatan’ antara Hasan Nasbi dengan M Itoc Tochija, dikembalikan oleh Nasbi kepada KPK.

Maka eks buzzer Jokowi pada dua kali pilpres 2104 dan 2019 bahkan di pilpres 2024 dibawah panji Jokowi, serta.yang juga ‘aktif membela Kaesang’ perihal dugaan gratifikasi pelesiran naik pesawat carteran namun gratis, tentu saja Hasan Nasbi subjektif dan manusiawi, punya kwalitas kecendrungan politik (political tendencies) ketidaksukaan kepada Tempo sebagai ruang lingkup lembaga profesional dibidang usaha jurnalistik, lalu Nasbi mengejawantahkan dengan kalimat yang substansial dipahami publik sebagai, “biarkan saja penerima (individu yang dituju) atau segenap civitas personal  Tempo sebagai kelompok lembaga pers yang berprofesi jurnalistik untuk ‘menikmati dan melahap  panggang parcel kepala babi’.

Penutup dan Kesimpulan

Nasbi jelas menunjukan gejala-gejala perilaku dengan pola kepemimpinan yang buruk (bad leadership behavior) terbukti kalimat “makan saja kepala babi” oleh Nasbi merupakan perkataan yang indikasinya perbuatan yang tidak konsekuen dan inkonsistensi karena menyimpang daripada asas good governance, atau perilaku dengan melalui tutur kata yang tidak role model bahkan nir adab, sehingga Nasbi melupakan eksistensinya sebagai seorang dari jajaran birokrat di KMP atau aparatur pejabat publik penghuni istana, dan kesemua faktor perilaku negatif Nasbi akibat habit (kebiasaan) mem-buzzer ria, sehingga efeknya melahirkan opini dari para tokoh publik yang prejudice (prasangka buruk) kepada Prabowo Subianto, penguasa dan pimpinan tertinggi dari Nasbi di KSP. Sehingga mustahil dari sisi pandang kacamata politik praktis, komentar yang keluar tak senonoh dari mulut Nasbi pejabat eksekutif publik yang mirip konten akun fufu fafa, sosok asli ‘ternakan Jokowi’ merupakan arahan atau sepengetahuan atau terlebih seizin Prabowo.

Sebaliknya prediksi penanggap, andaikan Hasan Nasbi sadar atas kalimat yang menyinggung Tempo dan timbulkan emosi publik, atas komentarnya terhadap kiriman kepala babi kepada Tempo, maka gejala-gejala politik yang disampaikan Nasbi justru menunjukan  ‘nisbi’ ingin membunuh karakter kepemimpinan Presiden RI Prabowo Subianto melalui penerapan metode dengan pola character assassination, demi kepentingan kelancaran proses prospek politik terhadap sosok Tuan Fufu Fafa figur nir kualitas lagi menjijikan.

Akhirnya simpul pada penutup, terhadap topik hangat parcel kepala babi, perlu mengajak publik memperhatikan dan menyimak tentang teori alih isu, perihal ucapan Nasbi yang ‘tak senonoh’  fragmatis amat dibutuhkan oleh para loyalis berat Jokowi lainnya, diantaranya sebagai tehnis rekayasa upaya pengalihan tuduhan OCCRP terhadap junjungannya yang menjadi finalis presiden terkorup nomor 2 di dunia, selebihnya Hasbi anggap publik telah melakukan psywar berat kepada ‘tuannya’ Jokowi melalui tuduhan “pengguna ijazah palsu” dari Fakultas Kehutanan UGM dan tuduhan publik sudah nyata-nyata terbit melalui proses litigasi (lembaga peradilan) serta pengaduan tertulis di Mabes Polri oleh 5 orang tokoh aktivis anggota dari TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis) dengan menggunakan jasa juga para advokat aktivis TPUA, serta Alhamdulillah ternyata tuduhan publik ini mendapat justifikasi ilmiah dari pakar telematika dan IT (aktivis pejuang Dr. Roy Suryo), lalu dukungan kedua belakangan menyusul dan langsung booming keterangan dari pakar forensik digital Dr. Simon H.Sianipar, yang men-judge bahwa 100 milyar persen ijazah S.1 Jokowi dari UGM adalah palsu, bahkan menantang kepada para pihak yang meragukan kebenaran atas klaim (judge) dirinya untuk melaporkannya kepada penyidik polri sekaligus melakukan uji carbon terhadap Ijasah Asli Tapi Palsu, jika meragukan hasil klaim proses analitik digitalisasi forensik yang telah Ia (Dr. Rismon) lakukan.

Namun nota bene penulis,  terkait keberadaan Ijazah a quo in casu yang menurut naluri seorang advokat dengan puluhan tahun jam terbang praktik (beracara) pidana, “BISA JADI IJAZAH BARANG BUKTI SUDAH DISEMBUNYIKAN OLEH JOKOWI ATAU IRIANA ISTRINYA (NILAI PSIKOLOGIS/ INTENSITAS KEINGINAN/ TINGKAT PROTEKSI PIHAK KELUARGANYA) atau kata lainnya ADA MODUS OPERANDI PURA-PURA IJAZAH ASLI HILANG, DAN PASTINYA HUKUM KELAK DAPAT MEMBUKTIKAN TEORI KONSPIRASI POLITIK HUKUM ANDAI ADA PENGAKUAN IJAZAH HILANG DIMAKSUD DENGAN BANYAK PEMBUKTIAN PEMATAHANNYA TERMASUK DENGAN UJI CARBON/ KARBON, MELALUI METODE ILMIAH PENANGGALAN KARBON-14.

Penanggap adalah pakar ilmu Kebebasan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum dan ahli dalam ilmu Peran Serta Masyarakat dan Sekretaris Dewan Kehormatan Dewan Pimpinan Pusat Kongres Advokat Indonesia (Sekretaris DK. DPP KAI).