Menandai Rumah-rumah Penyedia Thr Jelang Hari Raya Idul Fitri

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Sejumlah pohon sudah berubah, jalan dan bangunan apalagi. Pohon kelapa didepan rumah, tingginya sudah nyaris 3 kali dari tinggi pada sekira 30 tahun yang lalu.

Sejumlah nama, tinggal nama. Generasi awal, sudah banyak yang berpulang. Saat ini, yang masih eksis generasi kedua, yang sudah menyandang gelar ‘Kakek & Nenek’.

Penulis, ada di layer generasi ketiga. Sudah bergelar ‘bapak’. Jadi, sudah cukup lama usia sejarah kampung halaman.

Tapi tetap saja, aroma khas jelang Idul Fitri tetap tajam. Suasana kebahagiaan, terus menyelimuti.

Apa yang dulu penulis kerjakan, kini dikerjakan anak-anak. Sudah nyaris 2 hari ini, anak-anak sibuk di dapur, membantu Mbah dan Leleknya (bibi). Asyik dengan ritual membuat kue lebaran, dari kue babon hingga Nastar.

Sementara penulis, mencoba mengingat kembali moment paling indah saat lebaran. Ya, momen saat menerima sejumlah THR dari sejumlah orang yang menjadi langganan penyedia THR.

Dahulu, kami sering menandai rumah-rumah yang menyediakan THR, berupa uang saku untuk setiap tamu anak-anak yang datang. Biasanya, masing-masing kami menerima THR sejumlah Rp. 300,- berupa 3 (tiga) keping uang logam bergambar gunungan wayang.

Salah satu rumah yang rutin menyediakan stok THR adalah rumah Mbah Genuk. Beliau, sudah berpulang sekitar 2 tahun yang lalu.

Di rumah Mbah Genuk ini, kami biasa dahulukan untuk dikunjungi. Khawatir, kehabisan stok THR jika terlambat.

Momen yang kami tunggu, adalah saat pamitan. Saat pamitan itulah, kami dibagi THR, masing-masing @Rp. 300,-

Prioritas kunjungan silaturahmi kami anak-anak, terikat dengan kaidah sebagai berikut:

Pertama, kami mengunjungi rumah-rumah yang biasa menyediakan THR. Rumah-rumah inilah, yang kami dahulukan, kendati jaraknya agak berjauhan.

Kedua, kami mengunjungi rumah-rumah yang dikenal menyediakan penganan enak. Kue Nastar, Engkak Ketan dan Pilus, adalah menu sajian kegemaran yang biasa menjadi target kunjungan.

Ketiga, barulah kami beredar berkeliling, mengunjungi satu rumah menuju rumah lainnnya, sampai kami merasa puas dan capek.

Setelah itu, barulah kami bermain dan berkumpul di Musholla. Sambil bertakbir, menabuh beduk, kami melakukan audit menyeluruh atas pendapatan kami di hari raya.

Rasanya, saat itu begitu indah. Rasanya, baru beberapa waktu saja itu terjadi.

Tak terasa, sekarang diri telah berusia. Umur makin bertambah.

Ya Allah, tambahkan dan panjangkan-lah umur kami. Agar kami bisa lebih lama beribadah kepada-Mu di dunia ini. Amien. [].