x.com@BenksWinarso
x.com@BenksWinarso

Kontroversi Video AI Selamat Idulfitri Mas Wapres, Norak dan Salah Konsep?

Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
Di tengah semarak perayaan Idulfitri 1446 H, Wakil Presiden Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, menyampaikan salah satu ucapan selamatnya melalui ungahan video di akun media sosialnya. Unggahan tersebut menampilkan video yang dibuat dengan teknologi kecerdasan buatan (AI), menampilkan Gibran dan istrinya, Selvi Ananda, menaiki unta di sebuah gurun dengan latar belakang Monumen Nasional (Monas). Sontak video ini pun segera memicu beragam reaksi dari warganet.​
Seorang pengguna media sosial mengomentari dengan pedas, “Bro sumpah lu norak banget sama AI kaya orang kabupaten baru nemu teknologi.” Muncul juga komentar lain menyoroti penggunaan AI dalam video tersebut, “Ngerusak industri animasi dan kreatif yang ada, demi apa? Kalau emang mau ngejar industri AI ajarin anak-anak untuk coding machine learning dll, bukannya ngajarin make prompt dan AI berbayar yang gak perlu dipelajari.” Beberapa warganet juga mempertanyakan konsep video yang menampilkan Monas dan gurun pasir dalam konteks Idulfitri, yang biasanya identik dengan nuansa hijau dan ketenangan. ​
Brillian Fairiandi, seorang AI Visual Creator dan pendiri IMAJIK, diduga berada di balik produksi video ini. Melalui akun Instagramnya, Brillian mengungkapkan bahwa beberapa minggu sebelumnya, ia mendapat kesempatan untuk bertemu dan berbagi tentang AI Visual di hadapan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Ia juga menyebut pertemuannya dengan tokoh-tokoh inspiratif lainnya dalam bidang kreatif.​
Sayangnya, terobosan penggunaan teknologi AI dalam video ucapan Idulfitri kali ini menuai kritik tajam. Beberapa warganet menyoroti detail eksekusi yang kurang sempurna, seperti mata Gibran yang tampak tidak simetris dan penulisan “Idul Fitri” yang kurang huruf “i” sehingga terbaca “Dulfitri”. Meskipun kekurangan tersebut dapat dianggap sebagai minor dan merupakan keterbatasan teknologi AI saat ini, namun dalam konteks ucapan resmi dari seorang pejabat negara, detail semacam ini menjadi sorotan publik.​
Selain itu, pemilihan konsep visual yang menampilkan Jakarta sebagai padang pasir gersang dianggap kurang tepat dan menimbulkan interpretasi negatif. Beberapa warganet bahkan menafsirkan bahwa visual tersebut menggambarkan kondisi Indonesia di masa depan jika Gibran terus berkuasa. Kritik ini mencerminkan pentingnya sensitivitas budaya dan konteks dalam produksi konten yang ditujukan untuk khalayak luas, terutama dalam perayaan keagamaan yang sarat makna seperti Idulfitri.​
Apakah dalam menggarap video ucapan selamat Idulfitri untuk Gibran kali ini, Brillian masih terbawa oleh gaya-gaya karya video ai yang selama ini telah dibuatnya? Dimana, selama ini Brillian banyak menampilkan kreasi video-video ai tentang landmark Indonesia khususnya Jakarta yang tengah mengalami kehancuran, rusak dan mencekam. Misalnya Gedung DPR, Istana Negara, Istana Bogor, Bundaran HI, dan banyak landmark lainnya yang ditampilkan seram dan mencekam karena sudah hancur bahkan hamper terkubur seperti halnya visual-visual seram dalam film-film manusia zombie.

Entah apakah memang dari pihak tim Gibran yang salah brief atau memang Brillian yang terbawa suasana dan gaya yang banyak diterapkannya selama ini, yang jelas inilah hasilnya, sebuah video ucapan selamat Idulfitri yang mencekam dan bahkan suram sehingga memancing apresiasi negatif dari khalayak.

Penggunaan teknologi AI dalam produksi konten kreatif memang tengah menjadi tren dan menawarkan berbagai inovasi. Namun, penerapan teknologi ini dalam konteks resmi dan budaya memerlukan pertimbangan matang agar pesan yang disampaikan sesuai dengan nilai-nilai dan ekspektasi masyarakat. Kasus ini menjadi pembelajaran bagi para kreator dan pejabat publik untuk lebih berhati-hati dalam memanfaatkan teknologi, memastikan bahwa inovasi yang dihadirkan tetap selaras dengan norma dan tradisi yang ada.​
Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari pihak Wakil Presiden maupun Brillian Fairiandi mengenai kontroversi yang berkembang. Masyarakat menantikan klarifikasi dan, mungkin, perbaikan di masa mendatang untuk memastikan bahwa pesan-pesan publik disampaikan dengan cara yang tepat dan menghormati nilai-nilai budaya yang ada.
Namun entahlah yang jelas video ini masih “to be continued” kok. Semoga saja sekuel lanjutannya nanti akan mampu menampilkan konsep yang tepat sebagai jawaban segala macam kritik atas sekuel pertama yang banyak diwarnai apresiasi negative dari publik. Tabik.