Silaturahim Politik Didit ke Megawati Politik Primordial Beresiko “Sungkurkan” Gibran?
Kunjungan lebaran Didit Putra Tunggal Presiden RI Prabowo Subianto dari sisi diskursus politik merupakan implementasi teori politik primordial sebagai jembatan penghubung Prabowo dan Megawati melalui Ied Mubarok 1 Syawal 1446 H (31 Maret 2025).
Karena secara politik walau informal, dan suasana budaya umum, serta lazimnya hari lebaran, tuk saling kunjung mengunjungi sesama muslim, namun deskripsi iedul fitri sebagai hari suci umat muslim, tentu saja filosofis politiknya logis dimaknai oleh publik pemerhati sebagai sebuah hakekat harapan bakal melahirkan banyak peristiwa kebajikan, walau tetap mesti disadari dalam konteks berpikir politik pasti ada terdapat fragmatisme (kepentingan) namun tetap sesuai sudut pandang budaya bangsa yang berasaskan Panca Sila, bange ini harus tetap melulu objektif tidak boleh suudzon (negatif thinking), oleh karenanya wajar jika ditafsirkan lebaran Didit ke kediaman Megawati di hari H Ied Mubarok, sebagai wujud sinyal terang, cikal bakal menuju kebersamaan dan kebersatuan serta keteguhan para tokoh pemimpin bangsa ini menuju politik yang membangun pasca lebaran politik pada semua sektor (ekonomi hukum dan adab budaya), setidak-tidaknya asumsi positif publik sarat dengan harapan langkah politik kekerabatan (primordial) yang dilakoni Didit sebagai deskripsi wacana positif menuju sinergitas serta berkualitas atau dengan kata lain lebaran Didit memilki value strategis sebagai starting menuju kinerja 6 bulan atau 9 bulan pertama Prabowo menjabat Presiden RI Ke 8.
Lalu bagimana dengan Gibran, sebagai ‘bocah’ yang pernah mengenyam pendidikan politik di PDIP. Apakah ada hasrat hadir untuk bertemu silaturahim dengan Ketum partai yang pernah membesarkan dirinya dan Bapaknya (Jokowi) namun berakhir dengan ‘pengkhianatan’ mereka anak beranak?
Bisa jadi Gibran yang merasa pernah berguru lalu “berkhianat”, masih segan tuk menemui Megawati Poetri eks Presiden RI ke 5, putri Presiden RI pertama Ir Soekarno, politisi perempuan terbesar abad ini dikancah nasional. Atau kah Gibran sudah mencoba untuk menemui namun tertolak? Dan mengingat belum lama Megawati berucap to de point, “Kami dukung Prabowo bukan Gibran”. Selain Megawati saat ini sedang ‘tercederai’, karena tangan kanan mesin politiknya Hasto Kristiyanto sedang mengalami peristiwa hukum namun dirasakan Megawati tidak pure hukum.
Menurut analisa penulis, secara garis politik, kunjungan Didit yang dihadiri Puan selaku anak Ketum PDIP yang juga sebagai seorang Ketua PDIP dan nota bene jatidirinya adalah Ketua legislatif (DPR RI) yang belum lama lancar memimpin dan mendapatkan persetujuan revisi RUU TNI.
Maka sinyal terang kunjungan politik primordial namun ‘positif’, dari sisi kedua politikus dan dimata sebagian besar publik, karena kedua tokoh politikus dan negarawan/ wati (Prabowo-Megawati) dahulunya punya lata belakang ‘permusuhan’, tepatnya di era orde baru, lalu mencair pada pilpres 2004, lalu berseteru lagi di 2014 dan 2019 bahkan perseteruan memuncak jelang pilpres 2024, namun kini nampak segera mencair kembali serta kearah lebih serius kepada posisi barganing politik “perubahan susunan Kabinet Merah Putih (KMP)” yang terasa sekali kurang populer oleh sebab kental kesan cawe-cawe politik Jokowi dalam merumuskan belasan bahkan puluhan isi KMP.
Sehingga diskursus politik yang ada, silaturahim atau kunjungan politik Didit ke Rumah Megawati adalah implementasi politik kekeluargaan (primordial.politik), dan banyak pubik berharap lebih, yakni posisi Gibran sebagai Wapres dapat digantikan sesuai sistim hukum ketatanegaraan yang berlaku, dengan sosok yang lebih layak, yakni Puan, yang bakal minus konflik berkepanjangan, dibanding diri Gibran, karena dari sisi perspektif hukum Gibran nyata-nyata sesuai data empirik, banyak kandugan cacat (sejarah) hukum, baik dari sisi usia Gibran vide putusan MKMK, juga dari sisi pendidikan Gibran yang diasumsikan tidak penuhi persyaratan kontestasi pemilu pilpres Jo. UU. Tentang Pemilu (wajib lulus SMA atau sederajat), sehingga akan terus menimbulkan gonjang ganjing publik beresiko rawan terhadap keberlangsungan kekuatan politik dan kekuatan ekonomi dan hukum. Belum lagi terkait kasus 99, 9 persen lebih akun fufufafa yang menjijikan amoral (abnormal) menuju pribadi Gibran RR Bin Joko Widodo.
Dari sisi pendidikan Gibran, memang patut dipertanyakan terhadap sosok Gibran apakah tamatan SMP bisa dinyatakan setara D.1 atau seperti layaknya lulus SMA lalu kuliah namun hanya 1 tahun atau dikarenakan seorang siswa mengikuti program diploma, sehingga publik mencurigai Diknas era Jokowi cawe-cawe sesuai order, selain dan selebihnya ada info simpang siur namun nyata, bahkan Gibran sempat memperlihatkan Ijazah ‘ganjil S.1 nya’ di gedung walikota Surakarta, yang beredar publis seolah dirinya tamat S.1, namun aneh kemudian turun menjadi D.1 Setara SMA? Kapan dan dimana ketentuannya (asas legalitas) sistim diknas (Kemendiknas RI) yang menjadi rujukan? Apakah Kemendiknas RI tunduk kepada sistim pendidikan luar negeri (Singapura dan Australia), sehingga lulusan SMP bisa mendapat Ijazah S.1 atau D.1. bahkan pertimbangan lainnya, ada kabar setelah sosok publik telusuri, ternyata “sekolah tinggi atau universitas” Tempat 3 tahun Gibran kuliah di Singapura, hanya cabang dari Inggris bukan merupakan Unversitas dan sudah bubar pula? Lalu kemana Gibran melegalisir ijazah nya, lalu kok bisa melompat disahkan oleh diknas/ dikti menjadi D.1 setara SMA?
Lalu andai saja ada lahir konflik antara Prabowo versus Jokowi-Gibran. Hal terkait keberatan dari Jokowi Gibran ini, karena ada proses politik hukum, diyakini efek gejolak politik yang berasal dari kedua anak beranak ini, hanya sekedar sandungan kerikil (bati kecil) karena hampir 100 % anak bangsa Lintas SARA akan berdiri dibelakang Presiden dan Megawati-Puan (apapun alasan kronologis peristiwa politik dan hukum yang berasal dari Jokowi Cs, diyakini 1000 prosen Jokowi-Gibran tidak akan berkutik sama sekali apapun bentuk senjata mutakhir mereka. Karena ada arus gelombang luar biasa membela sang Presiden RI, bahkan akan menjadi kekuatan bumerang spektakuler yang mengejar Jokowi-Gibran sekalipun berlindung di lubang semut, karena bangsa ini sepertinya nampak muak kepada Jokowi, terlebih kontemporer booming berita yang menguak dan memperkuat tuduhan publik atas kepalsuan Ijazah S. 1 Jokowi dari fakultas Kehutanan UGM.
Maka sungguh fenomena dengan gejala gejala politik ironis dan miris, sehingga peristiwa hukum ini merupakan tragedi sejarah bangsa dan kepemimpinan kedepannya, bayangkan pada abad modern terjadi peristiwa degradasi moral (nir akal sehat), nir adab/ amoral terlebih jika menggunakan kaca mata komparasi kepemimpinan nasional, riil Presiden RI pertama Insinyur original alumnus ITB (zaman kolonial), namun amat kontras, justru eks presiden dan Wakil Presiden (anak beranak) tersandung tuduhan publik berijazah palsu pada era kepresidenan RI ke 7 (2014 dan 2024), tentu ini peristiwa degradasi moral yang tragis yang dialami bangsa di republik ini, termasuk ada catatan publik terdapat 100 lebih janji palsu Jokowi kepada anak bangsa ini selama dekade lebih sejak 2012 (era Cagub DKI Jakarta).
Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Publik Hukum dan Politik)
Penulis adalah:
1. Pakar ilmu hukum tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan Pakar Ilmu Peran Serta Masyarakat;
2. Sekretaris Dewan Kehormatan DPP. KAI.
3. Ketua Bidang Hukum dan HAM DPP. KWRI (Komite Wartawan Reformasi Indonesia);
4. Koordinator Advokat TPUA dan eks Ketua Divisi Hukum PA. 212.