x.com@_AnakKolong
x.com@_AnakKolong
JAKARTASATU.COM – April 2025, Di sebuah ruangan rapat sederhana di bilangan Jakarta Selatan, suara para jurnalis senior dan aktivis pers terdengar lantang. Di atas meja kayu panjang, dokumen-dokumen tebal tergeletak berserakan: Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU Penyiaran, serta selembar salinan Peraturan Kepolisian Republik Indonesia (Perpol) Nomor 3 Tahun 2025. Bagi mereka yang berkumpul hari itu—Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ)—Perpol ini bukan sekadar beleid administratif. Ia adalah ancaman.
Perpol 3/2025, yang diteken pada 10 Maret lalu, mengatur pengawasan terhadap orang asing. Namun yang jadi sorotan tajam adalah Pasal 5 ayat (1) yang mewajibkan jurnalis asing untuk memiliki Surat Keterangan Kepolisian (SKK) sebelum dapat melakukan peliputan di Indonesia. Sebuah klausul yang dianggap membelokkan jalur hukum, memperpanjang birokrasi, dan lebih dari itu—memicu tumpang tindih kewenangan yang bisa berujung pada represi.
“Ini seperti memberi palu godam ke tangan yang seharusnya tak pernah memegangnya,” kata Erick Tanjung, Koordinator KKJ, dalam konferensi pers 4 April lalu. “Polisi bukan pengatur kerja jurnalistik. Itu ranah Kominfo dan Dewan Pers.”
Menyoal Mandat dan Melawan Lupa
Selama ini, regulasi soal kerja jurnalis asing telah terang di bawah kendali Kementerian Komunikasi dan Digital (dulu Kominfo) serta diawasi oleh Dewan Pers, sebuah lembaga independen yang terdiri dari unsur pers dan masyarakat sipil. Landasan hukumnya pun tak kabur: UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, PP Nomor 49 Tahun 2005, serta Permen Kominfo No. 42 Tahun 2009. Dalam sistem ini, otoritas diletakkan secara tepat di tangan yang memang mengerti kerja jurnalistik.
“Sekarang, Perpol 3/2025 justru menggiring kita ke arah sebaliknya—mengambil alih mandat tanpa musyawarah,” tutur Wahyu Dhyatmika dari AMSI. “Dan ini dilakukan tanpa keterlibatan Dewan Pers, KPI, atau organisasi jurnalis. Prosesnya tidak partisipatif.”
Narasi yang digunakan aparat kerap dibungkus dalam bahasa pengamanan: pengawasan orang asing, antisipasi spionase, atau pencegahan kejahatan lintas batas. Tapi bagi jurnalis, frasa-frasa itu membawa beban baru: pembungkaman.
Data Komite Keselamatan Jurnalis menunjukkan bahwa sepanjang 2024 saja, terdapat 83 kasus kekerasan terhadap jurnalis—dan 21 di antaranya dilakukan oleh aparat kepolisian. Kini, bayangkan bila aparat juga diberi legitimasi formal untuk “mengawasi” kegiatan peliputan jurnalis asing. Celah penyalahgunaan terbuka lebar.
Nurina Savitri dari Amnesty International Indonesia menegaskan, “Kami khawatir kebijakan ini akan digunakan untuk mengintimidasi jurnalis internasional yang tengah menginvestigasi isu-isu sensitif—lingkungan, HAM, konflik agraria. Ini bisa jadi alat represi baru.”
Komite Keselamatan Jurnalis bukan satu-satunya yang bersuara. Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), hingga Pewarta Foto Indonesia (PFI) turut menyatakan penolakan. Semuanya menilai Perpol ini sebagai langkah mundur demokrasi.
“Alih-alih memperkuat sistem pers yang bebas dan independen, Perpol ini malah mengebiri,” ujar Nany Afrida dari AJI. “Ini bukan lagi soal administratif. Ini soal prinsip.”
Rezim Kewaspadaan atau Wabah Ketakutan?
Tahun 2025 menjadi tahun yang sensitif. Dengan banyaknya transisi politik pasca-Pilpres, peran jurnalis—terutama jurnalis asing yang cenderung netral dan obyektif—menjadi vital dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas. Perpol ini, jika dibiarkan, justru bisa menciptakan ilusi keterbukaan sambil mengunci lensa kamera dari luar.
Menurut Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar Arum, “Hak atas informasi adalah hak dasar warga. Jika akses informasi dibatasi dari hulu—yakni jurnalis—maka publik yang paling dirugikan.”
Karena itu, sebagai alternatif jalan keluar KKJ mendesak empat poin tuntutan krusial: Pertama, Kapolri mencabut Pasal 5 Ayat (1) Perpol 3/2025. Kedua, Pemerintah berhenti menerbitkan regulasi yang mengancam kerja pers. Ketiga, Libatkan publik dan stakeholder dalam proses legislasi. Dan terakhir, gerakan kolektif masyarakat sipil untuk menjaga kemerdekaan pers.
Indonesia pernah memiliki sejarah kelam di mana ruang redaksi hanya punya dua pilihan: tunduk atau dibungkam. Reformasi 1998 seharusnya menjadi titik balik, bukan sekadar jeda. Kini, sejarah seperti berusaha merayap masuk kembali—melalui pasal demi pasal yang tampak kecil, tapi berdampak besar.
Kita tahu, pers bukan sekadar industri. Ia adalah oksigen demokrasi. Dan setiap kali polisi mulai mengetuk ruang redaksi, barangkali sudah saatnya kita bertanya—siapa sebenarnya yang diawasi?
Catatan Redaksi: Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) adalah aliansi 11 organisasi pers dan masyarakat sipil, dibentuk pada 5 April 2019 di Jakarta. Mereka berdiri sebagai barikade terakhir ketika kebebasan pers mulai tergerus regulasi. |WAW-JAKSAT

Simak lengkapnya di sini: PERPOL-3-2025