SEGELAS TEH RINDU BUATAN IBU

Oleh Agung Marsudi

SABTU, ibu membuat segelas teh hangat. Lalu dibawa ke teras. Ditaruh di meja kecil pojok rumah. Mengelilingi meja ada empat kursi tua terbuat dari bambu betung gunung.

Sambil duduk selesa, setelah ibu minum tiga teguk dengan pelan, lalu gelas tehnya diberikan kepadaku. Sayapun minum teh buatan ibu sebanyak tiga kali. Angka ganjil yang menenangkan untuk segala urusan.

Ibu berpesan, agar jangan lupa berdoa, minta sehat panjang umur, panjang umur sehat. Saya mendengarkan nasihat ibu dengan takzim. Saya membayangkan ibu adalah Khadijah bagi bapak, yang dalam ingatan karnaval 17 Agustus, ketika saya kecil, bapak selalu jadi orang Bule. Bapak tingginya 180 cm. Gagah, atletis. Di tahun 1970-an bapak sudah main tenis lapangan. Bapak juga pemain bola di Persis, Solo.

Semenjak bapak meninggal, 12 tahun silam, ibu setia menunggu rumah induk sendiri. Edisi lebaran tahun ini saya bisa menemani ibu sepanjang waktu. Karenanya kebagian teh Kemuning, rasa rindu. Sesekali saya jadi koki, masak oseng-oseng bunga pepaya gantung, kesukaan ibu.

Cinta ibu adalah kesabaran menunggu. Kesetiaan mendampingi bapak, dan membesarkan anak-anak. Ibu dikaruniai 6 anak, 19 cucu, 12 cicit. Cinta itu setia. Nabi memberi teladan bahwa cinta bisa demikian indahnya. Seperti cinta beliau yang senantiasa menyimpan Khadijah di dalam hatinya.

Ibu yang masih suka jalan-jalan pagi habis sholat subuh, terlihat sehat, segar bugar dan enerjik. Habis asar ibu selalu membaca Qur’an. Bahkan tanpa kacamata. Kebiasaan yang telah ibu lakukan sejak remaja, mengikuti pesan Mbah Sobi, guru ngajinya waktu di desa.

Kini di usianya yang genap 74 tahun, ibu menghabiskan waktu dengan beraktifitas sosial di kampung. Apalagi pengajian ibu-ibu, hujan kadang tak menjadi halangan.

Terbayang pesan Nabi, “sorga berada di bawah telapak kaki ibu”.

Menikmati teh hangat berdua ibu, seperti embun menetes, sedalam kalbu. Aroma alami teh Kemuning, yang tak lekang dimakan zaman.

Di antara ibu dan aku, ada teh yang selalu membuatku rindu pulang ke kampung halaman. Desa yang melahirkan Indonesia.

Ibu, ijinkan aku menggendong harapanmu. I love you. 

Solo, 6 April 2025