OLEH : Rizal Bawazier, Pengusaha, Pemerhati Sosial

Penyelesaikan masalah DKI adalah bukan kita hanya bertumpu pada Pemerintah Daerah
DKI, tetapi semua unsur masyarakat DKI Jakarta juga harus sama-sama menjadi “ro’in”
atau “pengembala/ pemimpin” yang punya hati. Suatu “KUNCI”, suatu prinsip
bermasyarakat, bagi kita dalam memenangkan suatu kehidupan dari beberapa komunitas
sosial, adat yang berbeda-beda dan sangat beragam di DKI Jakarta ini.

“Setiap kamu adalah pengembala/pemimpin dan setiap kamu bertanggung-jawab atas apa
yang kamu gembalakan/pimpin”.

Salah satu permasalahan DKI Jakarta yang sudah biasa adalah kemacetan. Untuk
mengurangi kemacetan, Pemerintah DKI Jakarta menanggulanginya dengan cara
menciptakan transportasi baru seperti MRT (Mass Rapit Transit). Langkah lain yang
diambil oleh Pemerintah DKI saat ini adalah dengan pelebaran jalan, pembangunan flyover,
memperbanyak alat transportasi Busway, pembangunan proyek pelebaran trotoar dan
jalur sepeda.

Tujuan utamanya agar mengubah pola pikir dan kebiasaan masyarakat DKI Jakarta beralih
dari kendaraan pribadi ke transportasi umum, tetapi saya yakin hal ini tidak dapat
mengubah banyak solusinya karena sebagian besar masyarakat DKI Jakarta masih nyaman
dengan menggunakan kendaraan pribadinya, baik mobil ataupun motor, sekalipun
diterapkan peraturan genap-ganjil.

Solusi-solusi tersebut diatas sangat bagus dan tujuan memang untuk mencoba mengurangi
kemacetan yang sudah membudaya di DKI Jakarta. Tetapi mau dibilang apalagi
pembangunan-pembangunan infrastruktur yang dilakukan saat itu seakan terlambat. “Coba
dibangunnya dari dahulu sebelum lokasi padat, kalau begini jadi makin macet” kritikan yang sering kita dengar.

MRT ataupun LRT memang diperlukan oleh DKI Jakarta untuk menjadikan sebagai kota
yang “Modern”, tetapi tidak akan mampu mengatasi kemacetan di DKI Jakarta.

Jumlah kendaraan tetap akan meningkat setiap tahunnya, dan dengan mempersempit ruas
jalan bagi kendaraan tidak akan mengubah banyak pemikiran sebagian besar masyarakat
untuk tetap menggunakan kendaraan pribadinya. Lalu berulang kembali dari tahun-
ketahun, Pemerintah DKI Jakarta akan putar otak lagi dan lagi bagaimana cara terbaiknya
mengatasi kemacetan.

Penerapan Electronic Road Pricing (ERP) di Stockholm, Swedia, yang mampu menurunkan
volume keramaian lalu lintas kota itu sebanyak 25 persen atau sama dengan berkurangnya
1 juta kendaraan dalam satu hari, mungkin akan bisa mengurangi kemacetan DKI Jakarta.
Penerapan oleh Singapura dengan cara biaya tinggi dari pajak dan bea masuk serta harus
membeli sertifikat khusus yang biayanya mencapai S$ 50,000 atau setara dengan Rp 525
juta, mungkin akan bisa mengurangi kemacetan DKI Jakarta.

Lalu apa hubunganya antara solusi menyelesaikan kemacetan dengan kunci menjadi “ro’in”
/pengembala/pemimpin. Setiap orang (laki-laki atau perempuan) adalah pemimpin.
Pemimpin untuk diri dan hidupnya sendiri, setidaknya kita menjadi pemimpin diri kita
sendiri bertanggung-jawab atas resiko kemacetan yang kita buat sendiri.

GusDur sudah mewanti-wanti. Sudah mengingatkan berkali-kali. Diatas politik ada yang
lebih penting yaitu kemanusiaan, rasa dan nilai-nilai kemanusiaan.

Dengan kesadaran dan tanggung-jawab semuanya, Pemerintah DKI Jakarta dan seluruh
warganya dari kalangan manapun, solusi yang bisa dilakukan adalah:

1. DKI Jakarta perlu jalan tol dalam kota, kenapa? karena untuk menampung laju volume
kendaraan yang tidak bisa distop seperti yang saya sebutkan diatas. Pemerintah DKI
Jakarta sebagai “ro’in” bertanggung jawab untuk melihat ini sebagai suatu solusi,
masyarakat bertanggung-jawab untuk melihat ini juga sebagai solusi dan menggunakan
sebaik-baiknya.

2. DKI Jakarta mengharapkan kesadaran angkutan umum untuk tidak melanggar aturan.
Pemilik/supir angkutan umum harus merasa bertanggung-jawab atas kemacetan yang
mungkin ditimbulkan. Tidak jarang kita melihat kemacetan hanya disebabkan angkutan
umum berhenti sembarangan ditengah jalan dan supirnya dengan santai berdiam saja
walaupun sudah ditegur pengendara lainnya.

3. DKI Jakarta perlu menerapkan Electronic Road Pricing (ERP) yang mampu
menurunkan volume keramaian lalu lintas di beberapa kota dinegara lain.

4. Kesadaran dan tanggung jawab pedagang khususnya pedagang kali lima untuk tidak
berdagang di bahu jalan raya.

5. Pelebaran beberapa ruas jalan dengan sedikit rambu lalu lintas, karena terlalu banyak
rambu lalu lintas yang tidak perlu dapat menyebabkan kemacetan.

6. Aturan ganjil genap yang saat ini dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta dapat
dipahami bukan untuk supaya memiliki kendaraan lebih dari satu kendaraan.

7. Pengaturan lalu lintas yang tidak cepat berganti dari lampu merah menjadi hijau, ini
tanggung jawab Dishub atau Ditlantas.

8. Pengelolaan jalan raya, jangan ada yang dari lebar lalu tiba tiba mengecil.

9. DKI Jakarta mengharapkan tanggung-jawab seluruh lapisan masyarakat untuk
bersama-sama mengatasi kemacetan, mematuhi aturan-aturan, demikian juga pengusaha-
pengusaha jangan sembarangan dalam tata kelola membangun suatu proyek atau kegiatan
usahanya. Banyaknya jalan raya yang tidak terurus setelah proyek selesai.**