Agus Lenon/IST

OLEH: Andrinof A Chaniago

Ada dimana-mana bagi seorang aktifis pergerakan itu artinya, ada kalanya berkumpul bersama kelompok kiri, ada kalanya bersama kelompok kanan. Ada kalanya bersama kalangan elite terdidik, ada kalanya bersama rakyat akar rumput.

Agus Lenon, panggilan populer Agus Edy Santoso, adalah sosok aktifis dengan pergerakan yg lengkap. Membawa massa petani, atau buruh, atau kaum waria, Agus Lenon terkenan ahlinya. Tapi ia juga editor, sekaligus pengedar, buku2 yg menginspirasi pergerakan, utk memberi pencerahan sekaligus membangkitkan semangat melawan rejim yg represif.

Awal 1992, beberapa bulan setelah berdirinya ICMI di Malang, menyusul terbentuk Majelis Sinergi Kalam (Masika) di ICMI Pusat. Masika ini semacam forum aktifis dan intelektual muda dari kalangan Islam awal 1990-an. Anggotanya terdiri dari aktifis dan intelektual muda muslim progresif yg ingin memperjuangkan demokratisasi dan HAM. Agus Lenon adalah salah satu aktifis yg sering menghadiri diskusi2 yg diselenggarakan Masika ICMI dan beberapa kali ikut bertukar pikiran dlm menyiapkan topik diskusi.

Kira2 akhir April 1992, para aktifis muda muslim ini mempersiapkan diskusi bertemakan Penegakan HAM dan Demokrasi. Yg mengusulkan tema, seingat saya, adalah Agus Lenon. Tetapi anggota lain tidak ada yg menolak. Singkat cerita, acara diskusi siap digelar di suatu sore di awal Mei 1992. Semua pembicara sudah lengkap dan peserta juga sudah cukup banyak. Tetapi tiba2 datang beberapa aparat berpakaian sipil memasuki ruangan dan minta acara tidak dijalankan. Seperti biasa, situasi seperti ini berlanjut dg sedikit ketegangan dan debat antara penyelenggara dan aparat. Ujungnya, acara tetap tidak bisa diteruskan. Tetapi, sebelum bubar semua peserta menyanyikan dulu lagu Indonesia Raya dan disusul lagu Padamu Negeri.

Sebagai Koordinator Masika dan penyelenggara acara, saya masih punya satu tugas, yakni menjalani “pemeriksaan” atau “wawancara” oleh aparat keamanan terkait acara. Berdasarkan hasil negosiasi, “pemeriksaan” tidak diadakan di kantor Polisi, tapi di tempat acara yg batal. Menyusul kesepakatan tadi, tidak berapa lama, datang petugas keamanan lain yg membawa mesin ketik sbg alat penting dlm setiap pemeriksaan di Kepolisian.

Selesai menjawab tuntas semua pertanyaan polisi, Agus Lenon datang menghampiri saya membawa segelas air minum. “Kau minum dulu lah… Biasanya, kalau habis interogasi itu kita haus”, kata Agus sambil menyodorkan minuman. Ya, respon dan ucapan itu datang dari seorang aktifis yg kenyang dg “pemeriksaan” oleh aparat. Itulah Agus Lenon. (Beberapa hari kemudian majalah Tempo, 9 Mei 1992, memuat kejadian ini dg judul, “ICMI Pun Kena Semprit”).

Cerita singkat di atas yg mengingatkan saya bahwa Agus Lenon adalah sahabat aktifis yg sangat bersahabat. Guyonannya sering tajam. Tapi dia selalu tersenyum. Itu antara lain yg membuat rekan2nya para aktifis kehilangan. Terakhir kami bertemu saat menghadiri pemakaman Mas Dawam Rahardjo di TMP Kalibata, 30 Mei 2018. Dan, hari ini, puluhan aktifis berkumpul di Condet, mengantar Agus Lenon ke tempat istirahatnya yg terakhir.

SELAMAT JALAN, AGUS… SELAMAT BERISTIRAHAT DENGAN DAMAI….