Barang Bukti Rp477 Miliar Hasil Korupsi PT PLN Batubara/IST

JAKARTASATU.COM – Kasus ini dimulai ketika PLN membentuk anak usaha yang bertugas untuk memasok batubara ke PLN agar pasokan listrik bisa stabil, ternyata peluang ini dimanfaatkan oleh Khairil Wahyuni yang dipercaya sebagai Direktur Utama PT PLN Batubara untuk mengeruk keuntungan pribadi.

Bagaimana caranya? Ternyata mudah sekali. Yaitu ketika pengusaha  Kokos mengajukan proposal pengelolaan batubara kepada PLN. Kokos yang juga Dirut PT Tansri Madjid Energi (PT TME) melakukan serangkaian perbuatan yaitu tidak melakukan desk study dan kajian teknis, melakukan pengikatan kerja sama jual-beli batu bara yang masih berupa cadangan serta membuat kerja sama tidak sesuai spesifikasi batu bara yang ditawarkan, Khairil Wahyuni yang bertugas sebagai Dirut PT PLN Batubara sejak 12 November 2010, ternyata dengan mudah menyetujui proposal bermasalah tersebut. Akibatnya tentu saja pasokan batubara ke PLN menjadi bermasalah dan menyebabkan uang Rp 477 miliar pun menguap.

Tentu saja selanjutnya kejaksaan akhirnya menyeret Khairil Wahyuni ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dan karena penyelewengannya sangat kentara maka pada 12 Juni 2019, Pengadilan Tipikor Jakarta pun menyatakan Khairil Wahyuni terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi sebagaimana dalam dakwaan subsider.

Karena Khairil terbukti melakukan serangkaian tindak pidana korupsi dengan pengusaha Kokos Jiang sehingga negara merugi Rp 477 miliar maka sebagai vonis, mantan Dirut PT, Khairil Wahyuni, dihukum 2 tahun penjara.

Tentu saja hukuman yang cuma dua tahun dengan kerugian negara sebesar itu langsung menjadi polemik masyarakat. Namun khalayak bias apa? Pasalnya vonis ringan Khairil tersebut telah diketok palu oleh PN Jakpus, dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta dan dikuatkan lagi oleh Mahkamah Agung (MA).

Bukan main-main, setidaknya ada 13 hakim (5 hakim tingkat pertama-5 hakim tingkat banding dan 3 hakim tingkat kasasi) yang menyetujui vonis tersebut. Konon ada satu hakim yang tidak setuju dengan hukuman 2 tahun penjara itu. Yaitu hakim ad hoc tingkat banding Hening Tyastanto.

Namun apa daya kekuatan satu suara hakim dibanding kekuatan suara hakim mayoritas yang seperti satu kesepahaman tersebut di atas? Apakah boleh jadi ini merupakan cerminan atas kadar komitmen pemberantasan korupsi yang tengah dimiliki pemerintah yang berkuasa saat ini? |WAW-JAKSAT