Oleh Nuning Hallett

The Shock Doctrine digunakan Naomi Klein untuk menggambarkan taktik brutal selama bencana/pandemik yang menggunakan disorientasi publik setelah kejutan kolektif karena perang, kudeta, serangan teroris, kehancuran pasar, bencana alam, atau pandemik – untuk mendorong tindakan radikal pro-korporasi, yang sulit dilakukan di masa normal (karena akan mendapat perlawanan sengit dari masyarakat).

Taktik ini menerapkan perubahan cepat dan radikal sehingga tak ada ruang untuk membantah.

Strategi ini telah menjadi silent partner neoliberalisme selama lebih dari 40 tahun.
Polanya: menunggu krisis (atau bahkan, dalam beberapa kasus, seperti di Chili atau Rusia, membantu memicunya), nyatakan momen yang terkadang disebut “politik luar biasa”, tunda pemberlakuan hukum atau semua norma demokrasi beberapa saat (suspending the laws) – lalu ubah dan imolementasikan semua kebijakan (liberalisasi) yang diinginkan secepat mungkin, selama masyarakat masih shock, disorientasi, bingung, dan tak berdaya untuk melawan .

Klein mengutip Ekonom peraih Nobel Memorial, Milton Friedman: Hanya krisis yang menghasilkan perubahan nyata. Saat krisis itu terjadi, tindakan yang diambil bergantung pada ide-ide yang ada di sekitar.
Krisis itu seperti kanvas putih, setelah sistem yang ada dihancurkan karena bencana/pandemik, maka dimungkinkan lahirnya sistem yang baru.

Bencana ini bisa berupa apa saja, mulai dari gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia 2004, “perang melawan teror” George W. Bush, hingga pandemik.

Pandemik karena coronavirus (COVID-19) 2020 tak kalah dengan bencana yang mengguncang dunia dan telah mempengaruhi setiap aspek kehidupan kita. Dunia tiba-tiba dilumpuhkan. Ekonomi global jatuh ke ambang kehancuran dengan kecepatan yang mencengangkan. Namun, dengan dunia yang sibuk, pandemi COVID-19 menghadirkan kondisi yang sempurna bagi pemerintah, politisi, perusahaan, dan lainnya untuk menerapkan kebijakan dan perubahan yang mungkin tidak populer dan sulit dilakukan di masa normal.

Beberapa negara memanfaatkan pandemik dengan berbagai cara:
1. Di Hongaria, segera setelah wabah Covid melanda seluruh dunia, parlemen mengeluarkan undang-undang yang memberi Perdana Menteri nasionalis Viktor Orban kekuatan darurat yang besar, yang memberi PM kekuatan tak terbatas untuk mendukung kepemimpinannya daripada menggunakannya untuk melawan virus. Tidak lama setelah RUU itu disahkan, Orban menandatangani perjanjian pinjaman senilai $ 2,1 miliar dengan China untuk membiayai jalur kereta api antara Budapest dan Beograd. Ini akan menjadi Belt and Road Initiative besar pertama di Eropa

2. Di AS, Pemerintahan Trump juga memerintahkan Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) untuk menangguhkan penegakan hukum lingkungan selama krisis virus korona dan menurunkan standar emisi bahan bakar untuk kendaraan yang dijual di AS. Suspension of the laws ini merupakan kemenangan besar bagi perusahaan minyak

3. Di Indonesia, rumah kita, para pembuat hukum (Lawmakers) tiba-tiba menjadi sangat aktif dan menjadi pekerja keras selama pandemik untuk meloloskan Omnibus Law yang berpotensi menjadi pintu liberalisasi against pasal 33 UUD 1945 dan melibas semua aturan penghambat atas nama “investasi”. Ini menakjubkan buat saya karena biasanya sebuah RUU bisa menghabiskan 1-2 periode (5-10 tahun) untuk menjadi UU, dan tidak secepat ini.
Yang menjadi masalah buat kita adalah bukan “efisiensi” hukumnya. Tapi sifat ketergesaan dari pembahasannya yang membuat masyarakat bertanya: kepentingan siapa yang sedang dilayani?
Karena kepentingan masyarakat saat ini adalah kebijakan penanggulangan Covid dan ketersediaan basic income yang justru gagal dilaksanakan.

Jika saya menghimbau adek-adek dan masyarakat untuk bergerak (offline atau online), tapi Covid menjadi alasan untuk tidak bergerak, justru kita harus melihat sebaliknya bahwa selama pandemik lah kita banyak kecolongan.***