by Tarmidzi Yusuf
Pengamat Politik dan Sosial
Ada semut ada gula. Ada uang ada suara. Begitulah gambaran pemilihan umum di Indonesia.
Ibarat dalam dunia marketing. Empat P. Produk; calon dan pemilih. Harga; suara. Promotor; partai, timses, relawan dan konsultan politik. Penyelenggara pemilu sebagai organizernya. Walaupun ada pula, politik murni. Tanpa transaksi tapi langka dan sulit menang. Orang shalih dan jujur sudah dikarantina oleh parliamentary threshold 20%.
Tak terbayangkan berapa modal politik yang harus disiapkan. Tidak ada yang gratis dalam politik. Politik transaksional. Sebab, antara kandidat, pengurus partai, timses, relawan, penyelenggara pemilu dan investor politik bisa ‘barter’ suara dengan uang, proyek dan bagi-bagi jabatan. Siapa kontribusi apa dan siapa dapat apa?
Bagi pemilih, sederhana. Pilihan pemilih berbanding lurus dengan ‘kompensasi’ yang diterima. Money politik bukan hal yang tabuh lagi di masyarakat kita. Bahkan, pemilih secara terang-terangan menuturkan, ada uang ada suara. Haram menurut agama.
Soal agama dan ideologi calon, integritas, visi misi atau bahkan moralitas calon bukan hal yang penting bagi pemilih. Yang terpenting, ada uang ada suara.
Sehingga, wajar bila banyak masyarakat berseloroh, makin tebal amplop, makin ‘ikhlas’ dukungan pemilih.
Tak hanya di pilpres atau pilkada. Ini juga berlaku di pileg. Ada calon yang ‘harus’ menang, calon yang ‘harus’ kalah. Ada pula calon penggembira alias pemecah suara.
Calon ‘harus’ menang, misalnya dalam Pilkada serentak 2020 di Pilkada Solo dan Medan. Hasilnya, benar-benar menang. Sesuai prediksi. Politik dinasti makin kuat.
Ada pula calon yang ‘harus’ kalah seperti di Pilkada Tangerang Selatan, malah menang. Diluar prediksi. Ada yang kecolongan.
Yang benar-benar diluar dugaan adalah Pilkada Kabupaten Bandung. Qadarullah. Tidak seperti Tangerang Selatan. Calon yang ‘harus’ kalah, benar-benar kalah. Selain strategi terbaca lawan, juga terlalu over convidence. Terjadi migrasi suara. Simpul-simpul suara ‘digempur’ lawan. Peribahasa, ada semut ada gula.
Faktor kemenangan calon peserta Pemilu, entah itu pilpres, pileg, pilkada maupun pilkades tidak cukup hanya mengandalkan kekuasaan, partai, berkantong tebal entah dari mana uangnya, elektabilitas dan popularitas. Tapi perlu pula memiliki konsultan politik. Selain penyelenggara pemilunya, harus sudah ‘dipegang’. Semacam ‘paket belanja’ bila ingin menang.
Tak jarang hasil survei lembaga survei, hasilnya mendekati hasil real count KPU bahkan mirip. Mengapa? Karena ada penggiringan opini. Tak menutup kemungkinan pula, ada ‘main mata’ bertiga. Mafia, lembaga survei dan penyelenggara pemilu. Ada uang ada suara.
Seperti bangunan. Cuma bangunannya berbentuk ‘konspirasi politik’ untuk memenangkan paslon tertentu. Jangan heran bila ada ‘pembiaran’ pelanggaran pemilu oleh paslon yang ‘harus’ menang. Kerumunan dan pelanggaran protokol kesehatan aman-aman saja.
Sementara, paslon yang ‘harus’ kalah, ‘diuber-uber’ oleh panwas, dicari-cari kesalahannya. Blow up media secara besar-besaran bila ada ‘pelanggaran’ pemilu.
Cost politic yang besar. Bila menang justru jadi beban politik. Maka tak heran bila kepala daerah makin banyak ditangkap KPK. Dalam catatan KPK sejak Pilkada langsung tahun 2005, sudah 300 kepala daerah di Indonesia yang menjadi tersangka kasus korupsi, 124 di antaranya ditangani KPK.” (Kompas.com, 7/8/2020).
Selain kepala daerah, beberapa pejabat yang ditangkap KPK, seperti anggota DPR dan DPRD sebanyak 255 orang, menteri 13 orang termasuk Juliari Peter Batubara, dan Ketua Umum Partai 5 orang.
Beberapa bulan setelah menjabat ditangkap KPK. ‘Terjebak’ dan ‘terperangkap’. Kejar setoran partai dan investor politik. Modusnya, dari jual beli jabatan, perizinan, anggaran siluman di APBD hingga mark up dan bisnis proyek. Disinilah celah kepala daerah ‘bermain’ dan ‘terperangkap’ sehingga harus mendekam di penjara.
Sekarang pemilu itu menjadi ajang kepentingan bersama. Kepentingan pemilih, calon, partai, mafia dan investor politik. Dapat dilukiskan dalam bahasa sederhana, dimana ada uang disitu ada suara. Dimana ada pemenang, disitu ada penjara. Dimana ada pemilu, disana ada mafia taipan cukong.
Bandung, 11 Jumadil Awwal 1442/26 Desember 2020