Oleh Husni Agus *)
AKSI bom bunuh diri di gereja katherdal Makasar , yang ditenggarai sebagai aksi terorisme, tidak lepas dari kemiskinan mental. Pelaku bom bom bunuh diri, pasangan suami istri, rela mati sia-sia hanya karena tidak mampu menghadapi perbedaan pandangan (keyakinan) sesama warga negara Indonesia.
Celakanya, , setelah 70 tahun lebih menjadi negara dan bangsa merdeka, kemiskinan mental menjadi pertanda kebangkrutan moral bangsa. Kita, tidak saja sedang mengalami kemiskinan material tetapi juga kemiskinan mental, yang jauh lebih gawat dari sebatas kemiskinan material. Terlebih lagi, adanya pandemi Covid-19 membuat pukulan berat bagi masyarakat, sehingga banyak yang knock down akibat lock down.
Betapa tidak, kemiskinan mental mengakibatkan seseorang atau sekelompok masyarakat sudah tidak mampu lagi menyadari kemampuan maupun potensi dirinya, tidak dapat mengatasi berbagai tekanan dalam kehidupannya, dan tidak dapat berfungsi secara produktif agar dapat memberikan kontribusi positif bagi lingkungan sekitar.
Bahkan, cenderung menimbulkan tindakan-tindakan kontraproduktif yang merugikan bagi lingkungan sekitarnya, seperti kondisi kehidupan kita bermasyarakat di tanah air saat ini.
Tidak hanya aksi bom bunuh diri. Maraknya aksi kekerasan, tindakan represif, merajalelanya korupsi, tingginya angka pengguna Narkoba, penyelewengan dana publik, ketidakjelasan hukum atau memperlemah penegakkan hukum membuat trauma berkepanjangan di masyarakat, tidak bersikap adil, melesatnya angka kriminalitas, perdagangan (pelacuran) anak-anak di bawah umur, ketidakmampuan menahan diri dari godaan konsumerisme (pemborosan), berusaha melegalkan zina dan LGBT, ketidak mampuan menghadapi perbedaan pandangan, bersikap kumaha aing, dan segudang persoalan lainnya, menjadi isyarat dari kemiskinan mental.
Bangkrutnya moral bangsa, setidaknya karena rapuhnya ketahanan moral (moral resilience), yang menjadi landasan utama kesehatan mental seseorang atau sekelompok masyarakat. Bagaimanapun juga, ketahanan moral merupakan pembentuk karakter seseorang maupun sekelompok masyarakat dalam mengelola pengaruh dan berbagai tekanan persoalan hidup dari luar, yang pada akhirnya secara khas membentuk kepribadian. “Moral resilience is ability and willingness to speak and take right and good action in face of adversity that is moral / ethical in nature,” tulis Vicki D. Lachman dalam bukunya Ethical Challenges in Health Care: Developing Your Moral Compass (2009).
Wajar bila ada yang menilai, bangsa Indonesia di masa penjajahan dan awal-awal kemerdekaan, secara ketahanan budaya (cultural resilience) sudah terbukti kuat menghadapi penindasan, kemiskinan dan bahkan penghinaan dalam berbagai wujud. Namun, tidak memiliki ketahanan moral ketika menghadapi kemakmuran dan kekayaan, yang dihasilkan dari roda pembangunan pasca kemerdekaan.
Kenyataan itu, sudah bisa dipastikan tidak akan menciptakan karakter seseorang atau masyarakat, yang potensial dalam upaya mencapai tujuan atau orientasi bersama bernegara dan berbangsa. Sebab pada hakikatnya, kepandaian, keahlian dan kekayaan materi tanpa dibarengi dengan adanya ketahanan moral hanya akan membawa manusia pada egoisme individual maupun egoisme sekelompok kecil masyarakat (elit).
Jangan lupa! Di abad ke-21 ini, kepandaian (intelegensia), skils atau keterampilan, dan juga kompetensi semata, ternyata tidaklah cukup untuk menghadapi tantangan zaman. Butuh ketahanan moral sebagai pembentuk karakter, sebab dari situlah akan lahir masyarakat potensial dengan indikator utamanya , memiliki motivasi (motivation) sebagai mesin penggerak untuk mencapai tujuan (goals) atau orientasi, mengingat motivasi merupakan “kualitas stabil” dalam jati diri seseorang maupun suatu masyarakat.
Jika dulu bangsa Indonesia bisa ke luar dari belenggu penjajahan, setidaknya, karena memiliki ketahanan budaya dan moral yang melahirkan “motivasi kolektif” untuk mencapai “orientasi kolektif”. Ya, menjadi bangsa merdeka dan negara berdaulat.
Lantas apakah sekarang ini kita masih memilikinya? Bagaimanapun juga, setiap kemajuan dan keutuhan suatu bangsa menuntut adanya motivasi dan orientasi kolektif, yang menjadi penempa identitas nasional dan sebagai perekat kebersamaan.
Diakui atau tidak, rapuhnya ketahanan moral hanya membuat kita menjadi masyarakat fragile (mudah pecah), yang sulit untuk disatukan kembali utuh seperti sediakala. Inilah tugas berat seorang pemimpin bangsa, menyelamatkan bangsa dan negara dari kebangkrutan moral, yang berujung pada kekacauan serta perpecahan di masyarakat.***
*)Wartawan Senior