Syamsul Nursalim/ist

JAKARTASATU.COM – Penghentian penyidikan kasus Syamsul Nursalim dan Itjih Nursalim sebagai SP3 Perdana KPK, telah menimbulkan kehebohan luar biasa di mata rakyat yang telah menderita akibat penggerogotan keuangan negara. Apalagi SP3 itu terbut di tengah terpuruknya situasi ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19 yang berkepanjangan. MAKI, kata Boyamin, akan segera mengajukan Praperadilan.

Demikian menurut Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman kepada awak media, Senin (5/4/2021).

“Membaca berita Koran Tempo tanggal 3 April 2021 yang memberitakan bahwa salah satu alasan seluruh pimpinan KPK secara bulat menerbitkan SP3 itu adalah setelah menerima masukan dari Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Syarif, itu berarti ada intervensi pemerintah,” ungkap Yusri.

Lebih lanjut Yusri mengatakan, seingatnya, ini untuk kedua kalinya pemerintah melalui Wamenkumham mencampuri kasus di KPK.

“Ini hal yang sangat bertentangan dengan tujuan didirikannya Lembaga KPK. Kali pertama adalah ketika Kemenkumham melalui Wamennya mengatakan agar mantan Menteri KKP Edhy Prabowo dan mantan Mensos Juliari Batubara selayaknya dituntut hukuman mati. Padahal KPK sendiri menyangkakan keduanya dengan suap sesuai pasal 12 UU Tipikor, dengan ancaman hukuman maksimal seumur hidup. Waktu itu Komisi III DPR RI telah memperingatkan Wamenkumham untuk tidak membuat gaduh dengan mencampuri ranah penegakan hukum oleh KPK. Itu bukan urusan eksekutif,” beber Yusri.

Menurut praktisi dan pengamat hukum Augustinus Hutajulu, Pemerintah tidak boleh memberi masukan atau pendapat atau pengaruh dalam pengambilan keputusan KPK di bidang penegakan hukum.

“Dalam Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan kedua atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) jelas disebutkan bahwa KPK merupakan lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun,” ungkap Augustinus.

Independensi KPK itu, lanjut Augustinus, ditegaskan lagi dalam Pasal 3 UU KPK yang menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

“Selanjutnya, dalam Penjelasan Pasal 3 UU KPK disebutkan bahwa yang dimaksud dengan lembaga negara adalah lembaga negara yang bersifat sebagai state auxiliary agency yang masuk dalam rumpun eksekutif. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ‘kekuasaan manapun’ adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, dan pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun,” lanjut Augustinus.

Mengenai sah atau tidaknya SP3 atas Syamsul Nursalim dan Itjih Nursalim itu, Praperadilan lah yang berwenang mempertimbangkan dan memutuskannya, pungkas Augustinus.

“Semoga rekan saya Boyamin Saiman dari MAKI berhasil dengan pengajuan pra peradilannya,” tutup Yusri Usman.(JAKSAT/TR)