Prof. Didik J. Rachbini/ist

JAKARTASATU.COM – Rektor Universitas Paramadina Prof Didik J. Rachbini dalam diskusi Publik yang digelar Paramadina Public Policy Institute (PPPI) bertema “Dampak Investasi China untuk Indonesia: Produktif atau Korosif?” menyoroti bahwa hasil hubungan ekonomi Indonesia dan Cina adalah perdagangan yang defisit begitu besar dan terhadap perekonomian Indonesia begitu berat seperti dapat dilihat sekarang ini.

“Nilai tukar Indonesia menjadi melayang-layang dan defisit perdagangan besar dengan China terjadi. Bea masuk nol untuk produk China karena adanya CAFTA sementara barang-barang dari Eropa dan Jepang berbeda perlakuan,” ungkap Prof Didik J. Rachbini dalam sambutan Diskusi Publik lewat Zoom, Selasa, 02 Nov 2021 pagi tadi.

Didik J Rachbini juga mengatakan bahwa hubungan ekonomi Indonesia dengan China terjadi intensif pada 15-20 tahun terakhir, sebelumnya vakum sama sekali. Pada awalnya hanya pada transaksi perdagangan saja. Sementara investasi China ke Indonesia belum terjadi.

“Setelah ditandanganinya CAFTA maka masuknya produk-produk Cina ke Indonesia terjadi secara masif. Bahkan seperti seperti transaksi propinsi saja atau antar pulau, dari produk sepeda, mainan anak-anak yang berbahaya hingga produk sampah masuk ke Indonesia. Itulah fenomena baru ekonomi Indonesia, yang dibanjiri produk Cina secara masif tanpa proteksi memadai,” jelasnya.

Didik juga dengan tegas mengatakan padahal hubungan ekonomi Indonesia dengan China sebetulnya tidaklah begitu dekat seperti halnya hubungan Indonesia dengan Jepang yang sudah berlangsung sekitar 60 tahun. Jadi, kerjasama ekonomi apalagi investasi baru coba-coba yang kemudian fatal banyak merugikan Indonesia, terutama investasi untuk pertambangan nikel, yang memang dibutuhkan dunia.

“Investasi Cina juga membawa serta barisan tenaga kerja tidak terampil ke Indonesia, yang sebenarnya dilarang oleh UU Penanaman Modal,” tegasnya.

Didik memandang bahwa hubungan ekonomi Indonesia dengan Jepang berbeda sama sekali. Memang lebih rumit karena mereka teliti sehingga begosiasi investasi dan kerjasama lebih lama tetapi setelah berjalan menjadi mudha dan lancar.

“Dengan China, kerjasama ekonomi bisa terjadi dengan mudah tetapi ketika berjalan banyak masalah dan bahkan sulit untuk keluar,” ungkapnya.

Masih kata Prof Didik bahwa hubungan perekonomian yang terjadi berhubungan dengan ekonomi-politik yang mempunyai dampak menggerus politik bebas aktif Indonesia. Bahkan Indonesia seolah telah menjadi subordinasi China. Kapal China yang masuk perairan Indonesia dihalau dengan sekenanya saja.

“Padahal dulu politik luar negeri Indonesia amat dihormati seperti era Menlu Ali Alatas yang berwibawa. Kecenderungan politik ekonomi yang miring ke China jelas menjadi pertanyaan besar. Singapura saja telah mengkaji pengaruh kekuatan dua kutub ekonomi antara China dan Amerika Serikat yang hasilnya lebih terpelihara dan safe hubungan dengan Amerika Serikat yang dominan ketimbang dengan China,” paparnya.

Dalam diskusi itu hadir juga juga Faisal Basri Peneliti Senior INDEF & Universitas Indonesia
A. Khoirul Umam – Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI), M. Faisal – Direktur Eksekutif CORE Indonesia dengan Moderator: Nabila – Mahasiswi Prodi HI & Asisten Peneliti PPPI. (AEN/JAKSAT)