Ia memelukku penuh hangat . “Doakan ya,” katanya.
Air mataku tak bisa kubendung lagi saat membalas pelukanya. “Ya. Insya Allah sukses. Baca bismillah tiga kali sebelum melangkah, ” kataku.
Semalam aku memang menginap di saung karena permintaanya. Kulihat wajahnya berseri meski belum tidur dua hari dua malam. Dengan batik warna coklat kesukaan dan kopiah hitam kebanggaan, ia berdiri di depan saung.
Kepalanya tertunduk khusu berdoa. Lalu matanya kembali menatap ke depan dan melangkah tegak dengan gagah meninggalkan saung seperti seorang lelaki yang hendak mengejar matahari. Sepanjang pagi saya terus berdoa semoga upacara sukses dan tujuannya tercapai: menyatukan warga kotanya dalan balutan bendera merah putih di Hari Kemerdekaan RI yang 77.
Aku tiba di tempat acara agak siang. Barisan kursi-kursi di bawah tenda sudah terisi oleh para tamu kehomatan.
Semua pejabat kota dan tokoh daerah hadir. Aku duduk di antara tamu itu menunggu kehadirannya “Sudah jalan pawainya?. Sampai mana?” kataku kepadanya via phone.
“Sebentar lagi nyampe,” sahutnya dari ujung telpon.
Ia masih ikut pawai jalan kaki bersama warga sepanjang kurang lebih empat kilo meter. Masing- masing kelompok warga membawa bendera bertiang bambu sebanyak hampir 2000 bendera. Aku duduk menunggu ia datang bersama bendera-bendera itu.
Saat tiba kulihat wajahnya kian pucat berkeringat; tampak kecapain.
Ia pun ikut duduk di barisan kursi paling depan bersama para pajabat kota. Acara di mulai. Satu persatu para pejabat memberi sambutan.
Aku tak begitu kenal mereka, kecuali seorang camat dan walikota yang menyebut namanya dalam sambutannya. Yang lain tidak.
Aku masih duduk menunggu kapan ia maju melangkah memberi sambutan seperti yang lain. Atau dipanggil oleh walikota dan camat maju ke depan, diperkenalkan kepada pengunjung. Sampai acara seremoni berakhir pembawa acara tak memanggilnya.
Kembali rasa sedih menyesak di dada, bagaimana bisa seorang penggagas dan pelopor yang begitu banyak berkorban tak mendapat panggung di ruang itu.
Bagaimana mungkin mereka bisa senaknya naik ke atas panggung tanpa keringat satu tetespun untuk acara itu. Tapi, ah sudahlah..! Saat giliran bendera sepanjang 3.5000 meter akan ditarik mengelilingi Situ.
Ia maju ke depan membuka kotak peti bendera. Sehari sebelumnya ia pun membuat ritual khusus saat memasukan kain bendera ke dalam peti.
Ia cium kain bendera itu penuh penghayatan sebelum ditarik berkeliling. Orang- orang ikut menarik termasuk pejabat kota. Ia terus berjalan kencang di barisan terdepan menarik bendera. Semenrara para pejabat kota langsung menyerah hanya beberapa langkah kaki saja. Keringatnya makin deras membasahi wajah dan sekujur tubuh. Baju batiknya basah kuyup. Ia begitu mencintai bendera merah putih.
“Seluruh kain dan tiang bendera biar dari uang dan keringat saya saja. Saya gak mau disumbang. Yang lain terserah,” katanya suatu malam dua hari sebelum acara pengibaran dimulai. Meskipun kenyataannya, bukan hanya untuk bendera ia keluar duit dan peluh begitu banyak. Hampir tiap hari pula orang-orang berkumpul di saungnya ikut merokok, makan, ngopi, dan minta untuk beli ini dan itu untuk keperluan upacara.
Entah berapa banyak uang yang sudah ia keluarkan, tak ada yang tahu dan ia tak ingin ngasih tahu pula. Aku lebih dulu pulang ke saungnya sebelum acara usai. Semenrara ia masih terlihat sibuk mengatur bendera.
Sore hari, aku duduk di teras saung menunggu ia pulang. Menjelang maghrib tiba, ia datang dibonceng motor vespa tua. Wajahnya pucat pasi dan langkahnya gontai. Aku sambut dengan uluran tangan.
Begitu ia membuka sepatu, tubunya langsung ambruk ke atas kasur lusuh tanpa seprei. Ia benar-benar tumbang. Badannya menggigil kedinginan.
“Anak-anak” asuhnya kemudian menyelimuti dan memijit kaki dan tubuhnya. Aku coba buatkan ramuan jahe dan madu. “Tolong jaga ia ya,” kataku dengan suara parau menahan sedih.
Aku melangkah meninggalkan saung karena ada tugas lain menunggu.
Get the feeling
Mr. Ten