Sumber Foto : Istimewa

JAKARTASATU – Kabar lama menyeruak Pertamina dihantui penyamun. Inilah yang membuat pengamat energi Yusri Usman menilai kalau keputusan akhir investasi ( FID ) terminal penerima LNG berdasarkan FS (Feasibility study) dilakukan hanya oleh pihak PT Bumi Sarana Migas ( PT BSM ) dan tanpa pihak Pertamina juga melakukan FS sebagai SOP nya, ada resiko usaha bagi Pertamina, maka proyek LNG PT BSM akan rawan merugikan Pertamina.

“Padahal isinya FS TUA (Terminal Utilitation Agreement ), meliputi LNG SPA, Gas SPA, dan Loan Agreement semuanya sudah final dan saling menutup setiap risiko yang ada,” ujarnya dilansir EnergyWorld saat dimintai keterangan soal kerjasama BSM dengan Pertamina, Kamis 7 April 2016.

Lebih lanjut  Yusri menilai karena FS yang dibuat oleh PT BSM adalah FS Teknis yang dilanjutkan ke FEED. Kalau Pertamina jamin off taker 500 mmscfd untuk masa 25 tahun, maka untuk FID nya Pertamina juga harus punya kontrak LNG Supply 3,75 MTPA dan Kontrak Penjualan Gas ke Industri/PLN sebesar 500 mmscfd juga.
Selain itu katanya, perijinan harus sudah selesai atas tanah untuk lokasi LNG terminal konon kabarnya adalah diatas bekas lahan PT Golden Key (obyek sitaan BPPN) sudah dalam kondisi beres dan aman secara hukum dan termasuk juga rencana pembangunan pipa gas yang jadi kewajiban Pertamina dari terminal LNG ke Muara Tawar, dan sudah harus pasti harus dibangun.

Kalau ketentuan di atas tidak dipenuhi dan tidak melakukan “analisa resikonya”,  maka keputusan FID nya menjadi tidak aman terhadap pengembalian modal investasinya yang berpotensi merugikan Pertamina dan PLN sebagai pemegang saham dalam perusahaan konsorsium dengan PT BSM, sehingga Direksi Pertamina dapat di kenakan pasal ketidakhati-hatian dalam memutuskan kebijakannya.

“Jangan sampai juga rakyat membacanya bahwa Pertamina tetap selalu sepanjang umurnya menjadi sasaran lahan pembacakan oleh siapapun penguasa di negeri ini yang lagi berkuasa, ini preseden buruk bagi Pertamina yang sudah menerapkan prinsip GCG untuk membangun dirinya sebagai BUMN menuju perusahaan kelas dunia dan harus bisa bersaing dengan NOC lainnya disaat harga minyak dititik terendah dalam 2 tahun ini,” papar Yusri.

Seperti kita ketahui (baca: Keluarga JK Diduga Kuasai Proyek LNG Pertamina)  Point penting yang harus selalu diperhatikan adalah apakah dalam SOP proses bisnis Pertamina selama ini didalam mengembangkan unit bisnisnya dengan pola bekerjasama dengan pihak ke tiga apakah dibolehkan tanpa proses tender atau “beauty contest” dan penunjukkan langsung, akan tetapi dibolehkan melalui usulan Feasibility Studi dan apa dasarnya Pertamina tanpa ” benchmark” memutuskan bahwa FS yang diusulkan PT BSM layak , karena Pertamina tidak melakukan FS sendiri, artinya kalau itu dibolehkan dan supaya tidak menimbulkan potensi kerugian Pertamina atau istilah barunya “mengurangi pendapatan Pertamina”, seharusnya Pertamina juga menerapkan persyaratan ketat (” conditional Precedence “) , berlaku adil dan transparan serta tidak diskriminasi terhadap semua pihak-pihak lainnya dalam mengusulkan suatu proyek kerjasamanya ke Pertamina dengan mekanisme FS.

”Tidak hanya karena mentang-mentang keluarga Wapres yang tentu akan dibaca negatif oleh publik,”terangnya. (baca juga: Bela Anak JK, Pertamina Sebut Proyek BSM Bersifat B to B) .

Masih kata Yusri seharusnya keluarga Wapres harusnya memberikan contoh yang baik dan fair kepada investor lainnya dalam bekerjasama dengan perusahaan BUMN.

Ari Soemarno, Ahmad Faisal dan Keluarga Kalla
Sesungguhnya hubungan antara Ari Soemarno sewaktu menjadi Dirut Pertamina dan Ahmad Faisal sebagai Direktur Pemasaran dan Niaga dengan keluarga Kalla sudah lama terjalin dengan diawall proyek konversi minyak tanah ke LPG ditahun 2006.

Hubungan mesra Ahmad Kalla dengan Ahmad Faisal dalam proyek LPG adalah hubungan nostalgia yang sudah dibangun sejak kuliah di Bandung, hingga diakhir jabatan Ari Soemarno pada Januari 2009 sempat meloloskan kontrak panjang LPG melalui trader Petredex selama 10 tahun dengan volume 1 juta ton pertahun dan akan berakhir ditahun 2019.

Menurut Yusri lebih jauh telah mendengar dugaan diwacanakan oleh oknum-oknum di Direktorat Energi Baru Terbarukan Pertamina yang akan menutup dan memindahkan FSRU Nusantara Regas dari posisi sekarang di depan PLTG Tanjung Priok ke Cirebon diduga hanya untuk kepentingan memuluskan bisnis LNG dari PT BSM agar dapat terserap semuanya yang dulunya merupakan pasarnya FSRU Nusantara Regas, tentu kebijakan tersebut akan membuat harga LNG ke PLN semakin mahal akibat dari penambahan mata rantai dan jarak pipa gas sekitar 150.km dari Bojonegara ke PLTG di Priok dibandingkan LNG dari FSRU Nusantara Regas yang sudah didepan mata (didepan Pembangkit PLN tanjung. Priok) yang hanya berjarak 15 km dari FSRU ke PLTG Muara Karang Priok.

“Nah kalau informasi tersebut diatas mengandung kebenaran , tentu berpotensi merugikan negara dan rakyat sebagai konsumen PLN tentu dikemudian hari bisa menjadi obyek Penegak Hukum untuk menyidiknya,” ungkanya. Semga saja Pertamina jangan selalu dijadikan sarang penyamun.(jkts/ewi)