Oleh: M Rizal Fadillah
Sebagai partai politik yang melabelkan diri pada “demokrasi” sudah semestinya partai ini berjuang untuk tegaknya asas kedaulatan rakyat. Ketika rakyat memberi kepercayaan kepada PDIP untuk memerintah maka hal itu harus dijalankan dengan sebaik-baiknya. Tentu dengan mempraktekan kehidupan politik yang demokratis, bukan elitis atau oligarkis.
Rupanya terjadi kesalahan fatal dalam memilih pemimpin yang didukungnya. Jokowi adalah kegagalan. Menjadi Presiden yang buruk dan jauh dari orientasi kerakyatan. Petugas partai yang tidak tercelup oleh warna partai. Maklum langsung menjadi pejabat Walikota, Gubernur hingga Presiden. Ia bukan kader partai tetapi pengisi ruang-ruang birokrasi. Sulit berharap menjadi petugas rakyat. Untuk petugas partai pun nampaknya berantakan.
Sejak awal Jokowi itu senang memainkan politik biji nangka, licin dan sulit dipegang. Dengan kata lain mencla-mencle. Politik seperti ini menjadi kelemahan tetapi kadang kekuatan juga. Jokowi tidak peduli pada kritik. Adapun yang sibuk berteriak dan bersikap adalah pendukungnya, termasuk para buzzer. Sikap Jokowi terhadap PDIP meskipun di permukaan seperti loyal akan tetapi sebenarnya ia senang jalan sendiri bersama lingkaran dalamnya.
Saat PDIP menggadang-gadang Puan Maharani sebagai Capres PDIP, Jokowi sibuk mengorbitkan Ganjar Pranowo. Ketika Ganjar Pranowo dideklarasikan Capres PDIP, eh Jokowi bermain dengan Prabowo Subianto. Dukungan pada “rambut putih” berubah kepada yang berkriteria “pemberani”. Geser-geser sedikit kaki.
Megawati yang “bersahabat” dengan Prabowo dipaksa untuk menjauh dari waktu ke waktu. Kader PDIP mulai menyerang Prabowo. Sadar atau tidak “devide et empera” berjalan. Satu persatu gumpalan pendukung Ganjar mulai berpindah ke Prabowo. Terakhir Giring yang berslogan “tegak lurus bersama pak Jokowi” berakrab-akrab dengan Prabowo di Kantor PSI.
Andai PDIP melawan gerakan Jokowi yang telah menggerus dukungan pada Ganjar dengan langkah politik yang strategis dan menukik, maka akan ada hasil signifikan yang sangat menguntungkan PDIP. Langkah itu adalah bersama partai politik yang disandera dan diobok-obok Jokowi bergerak mendesak agar Jokowi rela mundur atau meminta MPR agar segera memakzulkan Jokowi sesuai ketentuan Pasal 7A UUD 1945.
Melihat aspirasi rakyat yang juga berkehendak agar Jokowi mundur atau dimundurkan, maka langkah PDIP memotori pemakzulan Jokowi diprediksi akan mendapat dukungan besar rakyat. Tentu Jokowi lengser bersama-sama dengan Wapres nya yang merupakan satu paket dari kegagalan dan ketidakmampuan. Maka kelak berlaku mekanisme ketentuan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945.
Berdasarkan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 maka “triumvirat” Pelaksana Tugas Kepresidenan yaitu Menlu, Mendagri, dan Menhan akan mengisi kekosongan hanya untuk masa 30 (tiga puluh) hari. Setelah itu MPR bersidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Sebagai partai pemenang Pemilu dengan suara terbanyak PDIP memiliki peluang terbesar. Tentu kini dalam pemilihan MPR bukan Ganjar Pranowo yang dijadikan kandidat PDIP, tetapi sebaiknya kembali pada Puan Maharani, Ketua DPR RI. Puan akan menjadi Presiden untuk mengantarkan kepada Pemilu atau Pilpres 2024.
Di samping terbuka peluang bagi lepasnya partai-partai politik dari cengkeraman dan sandera kekuasaan Jokowi, maka pemakzulan Presiden Jokowi sangat memberi angin segar dan menguntungkan bagi PDIP.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 3 Agustus 2023