Jakarta Tetap Ibukota Negara: Telaah Terhadap Sikap Politik PKS
Oleh Hasanuddin
Ketua Umum PBHMI periode 2003-2005
Di jalan Margonda, Depok terpampang Baliho/Billboard yang dibuat oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bertuliskan “Jakarta tetap Ibukota Negara”.
Sikap PKS saat pembahasan revisi UU IKN memang tidak menyetujui/menolak revisi UU IKN tersebut. Demikian halnya dengan sikap PKS terhadap munculnya draf usulan RUU Daerah Khusus Jakarta yang diajukan sebagai hak inisiatif DPR untuk dimasukkan dalam agenda pembahasan Badan Legislasi DPR.
Nampak bahwa partai ini konsisten dengan sikap politiknya perihal kedudukan Jakarta sebagai Ibukota Negara. PKS bersikap bahwa Jakarta masih relevan dipertahankan sebagai Ibukota Negara.
Sikap politik PKS ini jadi menarik di bahas karena menentang arus besar, di mana semua fraksi partai Politik yang lain di DPR bersikap berbeda dengan PKS.
Pesan yang kita bisa tangkap adalah, (1) PKS memiliki pendirian yang konsisten dalam berpolitik, tidak mudah terbawa arus atau terseret oleh pandangan yang bersifat _common sense_ semata. (2), PKS berpendirian bahwa Jakarta masih layak dan relevan untuk ditetapkan sebagai Ibukota Negara, yang berarti menolak pemindahan Ibukota Negara ke Kabupaten Panajam Pasir, Kutai Timur yang telah diganti namanya oleh Jokowi menjadi “Nusantara”. (3) PKS beralasan bahwa Jakarta masih bisa dipertahankan sebagai Ibukota Negara karena terbukti bahwa keadaan Jakarta selama masa pemerintahan Anies Baswedan dapat diperbaiki, sejumlah problem dapat diatasi. Sehingga kota Jakarta makin baik dibuktikan dengan memperoleh banyak penghargaan internasional.
PKS adalah salah satu partai yang mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor 1 Anies-Muhaimin, sehingga secara politik dipersepsi sebagai sikap politik dari pasangan Nomor Urut 1 ini. Meskipun sesungguhnya terdapat perbedaan diksi yang digunakan. Calon Presiden Anies Baswedan menggunakan diksi bahwa hal-hal yang terkait dengan IKN akan “dikaji kembali”. Sementara PKS menggunakan “diksi” penolakan secara tegas untuk memindahkan ibukota Jakarta ke Nusantara.
Sikap Calon Presiden Anies Baswedan untuk “mengkaji” kembali hal ihwal terkait dengan IKN menuai kontroversi bukan hanya dalam wacana politik nasional, namun juga menarik perhatian media-media internasional.
Proyek IKN itu senantiasa di evaluasi, bahkan UU IKN telah di revisi sebanyak dua kali. Jadi tidak ada yang perlu di khawatirkan dalam hal adanya keinginan “mengkaji ulang” UU IKN tersebut.
Dilain pihak munculnya ketakutan-ketakutan kubu rezim pemerintahan Jokowi bahwa proyek ini akan mangkrak pasca Jokowi tidak lagi berkuasa nampaknya tidak dapat disembunyikan. Secara beruntun Jokowi dan para menteri terkait bersahut-sahutan membela proyek IKN itu supaya tetap dilanjutkan.
Pembiayaan IKN
Sejauh ini kritik terhadap proyek IKN itu sesungguhnya datang dari berbagai kalangan, terutama dari kelompok masyarakat pemerhati lingkungan. Mereka melihat proyek IKN itu merusak Hutan Kalimantan yang merupakan salah satu cadangan hutan tropis yang berfungsi sebagai paru-paru dunia. Isyu lingkungan inilah yang membawa persoalan IKN ini ikut di sorot oleh media internasional, yang nampaknya berdampak kepada enggannya investor asing untuk berinvestasi di proyek IKN ini. Sekalipun Jokowi telah memberikan banyak dispensasi dan kemudahan bagi para investor asing itu. Perkembangan mutakhir menunjukkan bahwa tiadanya investor yang berminat membuat APBN yang harus di kuras untuk membiayai IKN.
Karena proyek IKN itu membebani APBN yang berimplikasi secara luas kepada terabaikannya prioritas penanganan masalah di sejumlah daerah, maka masalah pemanfaatan APBN inilah sesungguhnya yang menjadi alasan utama mengapa pasangan AMIN ingin mengkaji ulang proyek tersebut. Apakah dimungkinkan oleh Undang-undang?
Undang-undang IKN tidak mematok tahun berapa proyek IKN itu harus selesai. Jadi pengkajian atas proyek IKN sangat terbuka dialkukan dan memungkinkan berdasarkan UU IKN tersebut. Karena tidak ada perintah UU bahwa proyek itu mesti selesai tahun berapa, maka alokasi anggaran APBN ke proyek IKN tersebut secara besar-besaran dengan mengabaikan kebutuhan mendesak di daerah lain, tidaklah tepat. Alokasi anggaran terhadap proyek IKN itu bisa “disesuaikan” saja dengan kebutuhan. Demikian halnya dengan belum adanya investor asing yang masuk saat ini, tidak perlu pesimis terlalu dini. Boleh jadi di masa mendatang jika Presiden yang berkuasa mampu memberikan keyakinan kepada para investor, mereka akan masuk. Jadi problem dari tidak masuknya investor itu, bisa jadi karena mereka tidak percaya saja dengan Jokowi. Sebab itu, perlu di kaji dan di evaluasi kembali.
Anies Baswedan ingin agar ada pemerataan pembangunan, untuk atasi ketimpangan yang kian dalam dan luas diberbagai aspek pembangunan, yang terjadi di sejumlah kawasan. Anies saat telah jadi Presiden akan mengalokasikan APBN untuk tujuan pemerataan pembangunan itu, sebagai bentuk pelaksanaan dan pemenuhan akan janji kemerdekaan yakni mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikianlah posisi dan sikap politik pasangan AMIN dalam hal ini.
Adapun sikap PKS itu, adalah pandangan dan atau sikap partai politik yang harus di hormati. Ada tiga partai pengusung Anies yang saat ini memiliki kursi di DPR, yakni Partai Nasdem, PKB dan PKS. Dari ketiga partai ini, hanya PKS yang secara tegas menolak pemindahan ibukota, dan dua partai lainnya memiliki sikap yang sama dengan Anies-Muhaimin yakni setuju proyek IKN itu di kaji ulang atau di evaluasi.
Dengan demikian sikap PKS mesti dibaca sebagai sikap sebuah partai politik yang independen dan harus dihormati dalam kerangka menghormati kebebasan berpendapat dalam menyampaikan pandangan politik, dan itu di jamin oleh Konstitusi.