Ferdinand Hutahaean

JAKARTSATU – Menjelang memasuki kalender politik Pilkada Serentak 2017, yang mana salah satu propinsi yang akan turut serta adalah Propinsi DKI Jakarta dan kemungkinan besar akan juga diikuti oleh Ahok sang Gubernur petahana yang dapat hibah jabatan Gubernur dari Joko Widodo yang sekarang menjadi Presiden.

Mencermati perjalanan jabatan Ahok menjadi Gubernur memang menyisakan banyak tanda tanya. Apakah Ahok Pancasilais? Apakah Ahok Jujur? Apakah Ahok Bersih? Apakah Ahok Tegas? Apakah Ahok Cerdas? Apakah Ahok Beradab? Pertanyaan ini tentu mudah dijawab dengan memaparkan indikator-indikatornya. Indikator yang tidak perlu panjang lebar namun bisa membuat kesimpulan yang akurat dan kuat yaitu jawabannya satu kata TIDAK.

Keberadaan Ahok sebagai Gubernur mestinya dicintai rakyat dan disambut dimana mana ketika turun menemui rakyat. Fakta bahwa Ahok harus dikawal ribuan personil aparat ketika turun kerakyat adalah fakta yang menunjukkan ada yang tidak beres dengan Ahok. Fakta bahwa ketika Ahok ke daerah Jakarta Utara bukannya disambut tapi malah disambit rakyat dengan lemparan batu bagai gerakan intifada di Palestina. Sebegitu marahnyakah rakyat kepada Ahok sang Gubernur?

Konflik dengan beberapa lembaga dan konflik dengan banyak jajaran Pemerintah Daerah DKI Jakarta adalah menunjukkan Ahok tidak layak sebagai pemimpin. Ahok tukang pecat jajaran yang beda pendapat. Arogansi kekuasaan berlebih dan anti demokrasi. Pemimpin itu pemersatu bukan pemecah belah.

Ahok dengan bangganya berkonflik dengan DPRD, Ahok bangga berkonflik dengan BPK, Ahok bangga berkonflik dengan banyak tokoh dan sepertinya Ahok bangga berkonflik dengan rakyat. Mungkinkah Ahok akan menjadi bibit konflik ditengah rakyat Jakarta dan Indonesia?

Fakta saat ini bahwa ditengah publik Jakarta khususnya, bibit-bibit konflik berbau SARA meningkat tajam. Ada ancaman besar konflik SARA pecah di Jakarta sebagai akibat dari situasi psikologis dan sosiologis masyarakat yang muncul akibat kebijakan Ahok dan sikap arogansi kekuasaan yang ditunjukkan oleh Ahok.

Adakah Partai Politik saat ini tidak mampu melihat kenyataan dan tidak mampu mencerna fakta lugas ditengah publik? Apakah Partai partai yang sudah mendukung Ahok untuk maju lagi sebagai calon gubernur tidak mampu melihat bahwa kemungkinan situasi akan memburuk kedepan jika Ahok terus dipaksakan sebagai gubernur? Terlalu naif jika mengabaikan fakta-fakta lapangan hanya dengan klaim semu tentang prestasi Ahok. Semua indikator menunjukkan Jakarta menurun disegala lini selama kepemimpinan Ahok. Ini yang harus dipahami oleh partai pendukung Ahok. Ada ancaman kondusifitas bagi Jakarta kedepan jika terus memaksakan Ahok menjadi Gubernur. Hal ini juga disampaikan Sutiyoso sebagai Kepala Badan Intelijen Negara.

PDIP yang mengklaim diri sebagai Partai Wong Cilik mestinya segera mengambil sikap tegas dalam Pilkada DKI Jakarta kali ini. Ibu Mega adalah Putri dari Bung Karno sang Matahari bagi kaum Marhaen. PDIP saya yakini mampu melihat fakta yang faktual dan bukan fakta opini bentukan media para pendukung Ahok. Megawati SP harus tetap sebagai simbol perlawanan kaum rakyat jelata kepada kapitalisme yang dilawan Bung Karno. Mendukung Ahok sama saja mendukung Kapitalisme. Dengan demikian tidak mungkin Megawati mengkhianati perjuangan Bung Karno yang belum selesai. Mega kami yakini tidak akan mendukung Ahok karena berpotensi sebagai bibit konflik dan merupakan representasi kapitalisme. PDIP akan mendukung cagub yang juga pembela kaum rakyat jelata sebagaimana PDIP penerus Roh Perjuangan Bung Karno.

Jakarta, 06 September 2016
*Ferdinand Hutatean, Pimpinan Rumah Amanah Rakyat