Rusdi Samawa/ist

Partai Negoro, Beri Peringatan Menohok Menteri KKP

JAKARTASATU.COM Polemik Benih Bening Lobster (BBL) terus berlanjut. Dinamikanya selalu menarik. Khususnya Benih Bening Lobster (BBL). Peraturan Menteri KKP Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Lobster berkedok black market (pasar gelap) yang tak mau berkeringat untuk negara. KKP selalu gagal menempatkan benih bening lobster yang harus dikelola tata niaganya secara transparan dan objektif.

“Kali ini, kita beri peringatan keras kepada menteri KKP. Supaya jangan terjebak pada permainan Black Market yang bisa membuat dia masuk penjara. Ini game lobster dari dulu menjebak. Polanya, simpel dan taktis dalam konspirasi Black Market ini. Sebelum bermasalah, Menteri KKP harus stop dan evaluasi aktivitas BLU gandeng perusahaan membeli maupun kumpulkan BBL,”ungkap Rusdianto Samawa, Ketua Geomaritim Partai Negoro saat diskusi terbatas dikantor Partai Negoro, Pejaten Jakarta Selatan pada Kamis, 11 Juli 2024

Lebih baik, KKP perjelas saja pasal-pasal ekspor dalam Permen 7 tahun 2024. Karena, permen itu sekarang, tak ada satu pun pasal yang mengizinkan ekspor benih bening lobster (BBL). Dugaan kebijakan Peraturan Menteri Nomor 7 tahun 2024 justru memberi fasilitas kepada kelompok black market berkedok budidaya.

“Dugaannya, bisa mengarah ke gratifikasi dan korupsi. Karena secara teori machenary dalam antikorupsi itu, bahwa sumber korupsi berasal dari kebijakan yang mementingkan kelompok tertentu untuk mendapat remah – remah limpahan keuntungan yang tidak sah menurut hukum,” jelas Rusdianto.

Rusdianto menilai pada bagian Kesatu, kedua dan ketiga menjelaskan penangkapan BBL untuk budidaya, penelitian (riset) dan pendidikan. Tak ada satu pun pasal dalam peraturan tersebut, izinkan ekspor BBL dan izin budidaya di luar negeri.

Berbahayanya lagi, dugaan ada kerjasama dengan beberapa negara agar benih bening lobster (BBL) yang berasal dari Indonesia, di budidaya di luar negeri, sebut saja Vietnam. Alasannya, Indonesia belum mampu budidaya.

“Bagi Partai Negoro instrumen kebijakan KKP ini, salah. Mental – mental komparador kelola sumberdaya kelautan perikanan. Harus dievaluasi, monitoring dan supervisi oleh penegak hukum. Lebih fatal lagi, kalau benar adanya, budidaya di luar negeri. Hal ini yang dimaksud konspirasi black market (ekspor kedok budidaya),” tutur Rusdianto Samawa saat dimintai keterangan

Parahnya lagi, dinas – dinas kelautan perikanan di Provinsi dan kabupaten yang berbasis Sink Population (sumber benih) memberi izin ekspor, bukan budidaya. Ini salah. Ini instrument bekerjanya penjahat black market yang merugikan negara. Kepala dinas kelautan perikanan bisa juga diseret sebagai penerima gratifikasi dan korupsi. Karena memberi izin tidak sesuai dengan dasar hukum yang berlaku.

“Dugaannya Peraturan Nomor 7 tahun 2024 diterbitkan untuk Ekspor BBL dibungkus Budidaya. Pertanyaannya “berapa miliar bibit BBL untuk budidaya, berapa luas lahan budidaya, berapa banyak pengusaha atau stakeholders yang budidaya. Ini pertanyaan – pertanyaan yang perlu dijawab oleh KKP,” Ungkap Rusdianto Samawa, Ketua Geomaritim Partai Negoro saat jumpa pers dikantor Partai Negoro di Pejaten Jakarta Selatan pada (Selasa, 9 Juli 2024)

Dugaan lain, diluar berlakunya regulasi pengelolaan lobster ini, Badan Layanan Umum Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (BLU LPMUKP) membeli dan mengumpulkan Bibit Benih Bening Lobster dari nelayan dengan sistem kuota untuk budidaya. Namun, janggal karena tak sesuai dengan kebutuhan maupun fasilitas tempat budidaya.

“Seberapa besar BLU membeli BBL untuk budidaya, ini harus jelas. Tentu kalau beli ada standar harga. Sementara informasi dilapangan, BLU beli BBL untuk di ekspor. Walaupun, alasan beli untuk budidaya,” terangnya.

Santer informasi dilapangan bahwa para pengepul BBL mengerakkan nelayan untuk menangkap BBL dengan kuota tertentu sesuai izin yang diberikan oleh Kadis Kelautan – Perikanan di Provinsi masing – masing untuk ekspor, misalnya di NTB diberikan kepada asosiasi Nelayan dengan kuota, sementara kesiapan fasilitas budidayanya tak memadai. Lalu izin kuota BBL yang ditangkap itu perhari bisa 100ribu ekor per satu asosiasi. Apakah kebutuhan bibit budidaya bisa ditampung kalau 100ribu. Kemanakah sisa bibit tersebut?.

“Tentu, izin tersebut bukan untuk budidaya, tetapi pengeluaran lobster sesuai Permen Nomor 7 tahun 2024. penafsiran pengeluaran (ekspor) lobster ini ada dua hal, yakni pertama, pengeluaran lobster dibolehkan sepanjang ukurannya sesuai. Kedua, pengeluaran BBL ke luar negeri (ekspor),” ungkap Rusdianto Samawa yang juga Ketua Umum Asosiasi Nelayan Lobster Indonesia (ANLI)

Lanjutnya, sementara Peraturan Menteri Nomor 7 tahun 2024 tidak jelas, tidak memberikan penjelasan dalam pasal apapun dibagian Kesatu, Kedua dan Ketiga tentang diperbolehkan ekspor Bening Bening Lobster (BBL).

“Ada psikologis ketakutan dalam menerbitkan aturan pengelolaan Lobster, pertama, takut dikritik masyarakat yang anggap ekspor BBL itu merugikan. Kedua, takut apabila ekspor BBL diperjelas dalam suatu pasal tertentu dalam peraturan menteri.” terangnya.

Pada wilayah lain lanjut Ruadianto, ada agenda KKP melalui BLU LPMUKP membeli kuota BBL kepada pengepul dan nelayan penangkap BBL untuk budidaya. Namun, pertanyaannya; seberapa besar kuota, tempat, kebutuhan bibit untuk budidaya. Ini perlu jawaban terbuka.

“Mengenai BLU LPMUKP membeli Bibit kepada pengepul dan nelayan itu, dana dari perusahaan mana?, BLU kerjasama dengan oligarki mana? Pasalnya, membeli memakai fasilitas uang negara atau APBN tidak boleh. Karena semua kebijakan berbasis APBN harus terbuka dengan sistem tender atau penunjukkan langsung atau ada aturan lain yang membolehkan dana APBN itu dibisniskan.” ungkap Rusdianto Samawa

Lanjutnya, kita beri peringatan keras untuk menteri KKP. Harus segera perbaiki regulasi, perjelas saja aturannya. Ngak usah takut kritik masyarakat. Dari pada Menteri KKP, lama – lama di tangkap penegak hukum. Akibat kebijakan (machenary) yang berdampak pada gratifikasi dan korupsi karena konspirasi black market,” tutupnya. (Yoss)