Demonstrasi 2208 Melawan Dinasti Raja Jawa
Gelombang protes mahasiswa dan demonstrasi spontan yang disulut oleh kalangan anggota DPR melalui petinggi Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad dan sebelumnya di DPR dipimpin oleh politisi PPP, Achmad Baidowi alias Awiek berupaya untuk membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan Pilkada di seluruh Indonesia.
Meski demikian, sejumlah kalangan menilai bahwa yang terjadi di DPR sepanjang Kamis (22/8/2024) merupakan aksi bersejarah.
Soalnya semuanya bergerak spontan untuk menolak pembatalan putusan MK, yang dinilai tidak mencerminkan aspirasi rakyat, yang tercermin dari putusan MK no 60 dan no 70.
Sebenarnya demonstrasi dan protes besar-besaran mahasiswa bukan semata terkait dengan upaya DPR untuk membatalkan putusan MK terkait ambang batas pengajuan kandidat kepala daerah hanya 7,5 persen saja dari syarat yang kemudian direvisi DPR untuk dikembalikan 20 persen.
PDIP yang meraih 15 kursi DPRD Jakarta juga tidak mencapai angka tersebut, sehingga menjadi satu-satunya partai yang tidak ikut mengajukan pasangan Ridwan Kamil dan Suswono yang merupakan representasi Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Dengan putusan MK, semua parpol peserta pemilu bisa mengajukan pasangan Cagub dan Cawagub.
Mereka juga berhak mengajukan pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, serta Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati.
Sebenarnya, animo mahasiswa yang sangat besar terhadap upaya membatalkan putusan MK itu terjadi bukan karena kegiatan DPR tersebut semata.
Pemantik terbesar itu adalah upaya untuk menjadikan Kaesang Pangerep bisa maju sebagai Cagub atau Cawagub Jawa Tengah karena di Jakarta, pasangan yang diajukan adalah Ridwan Kamil dan Suswono.
Upaya DPR untuk memancing kemarahan rakyat sangat besar.
Sebuah diskusi kalangan masyarakat di Space, yang digelar Kamis malam, mereka merencanakan untuk menyewa mobil tinja untuk disemprotkan ke DPR dan MPR soalnya aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan brutal dan sadis.
Terkait dengan kemarahan mahasiswa dan rakyat yang spontan bergerak terjadi karena mahasiswa dan rakyat muak dengan upaya Presiden Joko Widodo untuk membangun kerajaan dia.
Setidaknya setelah sukses memuluskan Cawapres Gibran Rakabuming Raka melenggang dengan mengubah UU terkait syarat usia kandidat dari awalnya 40 tahun ditambahi kata bahwa bisa menjadi kandidat dengan syarat berpengalaman sebagai kepala daerah.
Meski dua hakim menolak karena yang disetujui harus setingkat gubernur.
Hanya tiga yang setuju termasuk pamannya Gibran, Anwar Usman.
Di kancah pilkada, semua pihak tersebut berupaya untuk memajukan sosok Kaesang Pangarep menjadi Cagub atau Cawagub meski jelas ada batasan usia 30 tahun minimal dan diubah hanya keterangan bahwa hal itu berlaku untuk saat pelantikan usianya sudah 30 tahun.
Masalahnya, Kaesang sudah telanjur memasang baliho dan spanduk raksasa di seantero Jakarta.
Dia juga sudah mulai akan memasang yang serupa di Jawa Tengah, tapi putusan MK membatalkan upaya tersebut karena kembali pada aturan syarat minimal usia adalah 30 tahun yang terjadi pada saat mendaftarkan diri, bukan saat pelantikan.
Perlawanan mahasiswa terjadi karena menolak nepotisme keluarga Joko Widodo yang dilakukan dengan mengubah UU atau aturan yang berlaku terkait pilpres dan pileg.(RED/GMS)