Anggie Tanjung Ajukan Frasa Perbuatan Tercela Ke Mahkamah Konstitusi
JAKARTASATU.COM— Advocat Anggie Tanjung, S.H., M.H. mengatakan sejak amandemen ke-IV UUD 1945 disahkan pada tanggal 10 Agustus 2024, UUD 1945 resmi diberlakukan tanpa adanya bagian Penjelasan sebagaimana UUD 1945 sebelum amandemen. Sebelum dilakukan amandemen terhadap UUD 1945, struktur UUD 1945 terdiri dari : Pembukaan, Batang Tubuh, 4 Pasal Aturan Peralihan, 2 ayat Aturan Tambahan, dan Penjelasan. Sedangkan setelah dilakukan amandemen terhadap UUD 1945, struktur UUD 1945 saat ini terdiri dari : Pembukaan, Batang Tubuh, 3 Pasal Aturan Peralihan, 2 Pasal Aturan Tambahan.
“Dihilangkannya bagian Penjelasan di dalam struktur UUD 1945 setelah dilakukan amandemen membuat kita hanya merujuk pada pasal-pasal yang terdapat di dalam batang tubuh UUD 1945 tersebut,” kata Anggie kepada wartawan, Selasa 1/10/2024.
“Penghapusan bagian Penjelasan di dalam UUD 1945 tersebut dilakukan dengan cara memasukkan bagian Penjelasan tersebut ke dalam ayat-ayat di dalam batang tubuh, sehingga UUD 1945 dianggap sudah lengkap,” imbuhnya.
Pengacara Anggie Tanjung, S.H., M.H. mewakili kliennya menjelaskan bahwa Penghapusan bagian Penjelasan UUD 1945 saat ini menimbulkan persoalan karena di dalam norma Pasal 7A UUD 1945, yang lahir dari amandemen ketiga, masih terdapat frasa yang multitafsir dan tidak jelas batasannya, yaitu frasa perbuatan tercela. Pasal 7A UUD 1945 menyatakan terdapat 6 alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Anggie menilai keenam alasan tersebut dapat di kelompokan menjadi 3 kategori, yaitu : (1) kategori pelanggaran hukum, (2) kategori perbuatan tercela, dan (3) kategori tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dari ketiga kategori diatas lanjut Anggie, kategori perbuatan tercela merupakan kategori yang rumusannya bersifat abstrak dan tidak jelas batasannya. Sehingga frasa perbuatan tercela di dalam norma Pasal 7A UUD 1945 tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum yang berlandaskan asas legalitas dan asas kepastian hukum serta bertentangan dengan asas kejelasan rumusan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Permohonan penafsiran konstitusional ini diajukan oleh kliennya dengan legal standing sebagai perorangan warga negara Indonesia.
“Permohonan ini telah di daftarkan secara resmi ke Mahkamah Konstitusi melalui Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi yang dibuktikan dengan adanya surat tanda terima dengan nomor : 137-1/PUU/PAN.MK/AP3,” jelas Anggie Tanjung, S.H., M.H.
Permohonan penafsiran konstitusional ini diajukan karena kliennya sebagai warga negara berpotensi terlanggar hak dan kewajiban konstitusionalnya jika frasa perbuatan tercela tersebut tidak diberikan penafsiran yang berkekuatan hukum oleh Mahkamah Konstitusi.
“Sebagaimana kita ketahui bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan satu-satunya lembaga negara yang memiliki kewenangan menafsirkan konstitusi. Selain itu Mahkamah Konstitusi dikenal dengan sebutan the legitimate interpreter of the constitutio. “Potensi pelanggaran terhadap hak dan kewajiban konstitusional klien saya telah dijelaskan secara terperinci di dalam berkas permohonan yang diajukan” papar Advokat Anggie Tanjung, S.H.,M.H.
“Tujuan dari pengajuan permohonan ini adalah untuk mencegah kerugian konstitusional yang potensial dialami oleh kliennya, sekaligus bertujuan untuk menyempurnakan konstitusi kita,” ungkap Anggie Tanjung.
Anggie menambahkan bahwa jika konstitusi memiliki rumusan yang lengkap dan batasan yang jelas, maka konstitusi kita menjadi sempurna sehingga tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum yang berlandaskan asas legalitas dan asas kepastian hukum.
“Saat ini kami sedang menunggu jadwal persidangan dari Mahkamah Konstitusi, dan semoga Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berkenan memberikan penafsiran konstitusional sebagaimana permohonan yang diajukan oleh principal kami” pungkasnya. (Yoss)