ilustrasi AI | WAW
ilustrasi AI | WAW

Honoris Causa

Cerpen
WA Wicaksono
Sepotong sore yang hangat terasa melambat ketika mentari seperti enggan terbenam dan burung-burung mencericit berisik di sela pepohonan. Di sebuah ruang tamu sederhana, secangkir teh hangat tergeletak di atas meja kayu kecil. Di situlah Pak Rukman, seorang pensiunan kepala sekolah yang kini berambut uban, duduk dengan penuh wibawa yang seakan-akan dunia pendidikan berputar di sekitarnya.
Tepat di hadapannya, Adi, anak semata wayangnya, duduk santai dengan kemeja kusut dan celana jeans yang tampaknya belum tersentuh setrikaan. Di balik ekspresinya yang acuh, terpancar rasa penasaran yang dalam. Lagi-lagi Pak Rukman memulai percakapan seperti yang telah dia lakukan seratus kali sebelumnya.
“Adi, sudah saatnya kau serius belajar. Gelar itu, Nak, adalah harga diri. Aku dulu susah payah belajar, bergadang, berkutat dengan buku-buku tebal. Semua demi bisa menyandang titel di depan namaku. Lihatlah semua ini,” ujarnya seraya mengibaskan tangannya ke dinding yang penuh dengan sertifikat dan piagam, berbingkai rapi dan nampak artistik karena bersinar terkena cahaya sore.
Dengan ogah-ogahan, Adi menatapnya dengan mata setengah tertutup. “Pak, sekarang ijazah mah gampang. Nggak perlu capek-capek kayak Bapak dulu. Sekarang yang penting punya uang sama relasi.”
Pak Rukman tertegun, kumis tebalnya bergerak-gerak seolah bergetar laiknya tertiup angin yang tak kasat mata. “Maksudmu apa, Di? Gelar itu nggak bisa dibeli. Itu lambang dari kerja keras, keringat, dan pengorbanan,” ujarnya tegas.
Adi tersenyum sinis. “Pak, sekarang banyak orang kaya, pejabat, yang nggak jelas pendidikannya pun, tiba-tiba bisa punya gelar Doktor Honoris Causa dari universitas terkenal. Padahal, kalau dipikir-pikir, satu-satunya ‘penelitian’ mereka adalah cara memperbanyak saldo di rekening aja kan?”
Pak Rukman terhenyak. “Tapi, itu gelar kehormatan seharusnya hanya diberikan kepada orang-orang yang berjasa besar, mereka yang memberi kontribusi nyata bagi kemanusiaan!”
Adi tertawa kecil. “Jasa besar apa, Pak? Ngeresmikan mall? Nyumbang buat universitas, terus dapat gelar sebagai balas jasa? Gelar sekarang tuh kayak tiket masuk restoran mewah. Asal punya duit, duduklah kau di kursi terhormat.”
Semburat merah nampak memerahkan wajah Pak Rukman, “Jadi menurutmu pendidikan tidak penting lagi?”
Adi menarik napas panjang, bersandar lebih dalam di kursinya, dan menatap langit-langit dengan tatapan kontemplatif yang ironis. “Aku nggak bilang begitu, Pak. Pendidikan penting, tapi bukan pendidikan yang dikomersilkan. Lihat sekarang, orang-orang yang naik jabatan pakai ijazah palsu, ujian dibayar orang lain untuk dikerjakan, atau skripsi yang dijiplak. Mereka nggak perlu berusaha keras, cukup ada uang atau kuasa. Sekali jentik jari, gelar datang.”
“Jangan sembarangan ngomong, Adi!” potong Pak Rukman gusar. “Tidak semua orang begitu. Pendidikan itu tetap mulia. Gelar itu harus diperoleh dengan keringat dan air mata!”
“Pak,” Adi menurunkan pandangannya dan menatap lurus ke mata ayahnya, “Sekarang gelar itu menjadi semacam asesoris. Lihat deh pejabat-pejabat itu, tiap tahun gelarnya nambah terus, kayak ganti baju lebaran. Honoris Causa ini, Honoris Causa itu. Coba Bapak cek, kontribusi ilmiah mereka di mana? Yang ada cuma amplop sumbangan gede, sambutan megah, terus plakat emas untuk dipajang di rumah.”
Pak Rukman mendesah, tangannya meraih cangkir teh yang mulai mendingin. “Jadi, menurutmu, kita tidak usah menghargai pendidikan lagi?”
Adi tersenyum, kali ini dengan sentuhan empati. “Bukan begitu, Pak. Aku tetap belajar, tapi aku realistis. Gelar itu hanya simbol. Yang penting adalah ilmu yang benar-benar kita bawa ke kehidupan. Aku nggak mau nanti jadi orang yang punya nama panjang tapi isinya kosong. Yang penting bukan gelar yang ditulis di belakang nama, tapi apa yang bisa kita lakukan buat orang lain pak.”
Pak Rukman terdiam. Dalam hati kecilnya, ia tahu ada kebenaran di balik kata-kata Adi. Dunia memang telah berubah. Honoris Causa yang dulu hanya diberikan kepada segelintir orang dengan kontribusi besar, kini terkesan bisa dibeli oleh mereka yang punya kekuatan finansial. Namun, ia juga tak bisa sepenuhnya menerima bahwa pendidikan, yang ia junjung tinggi sepanjang hidupnya, kini dianggap enteng.
“Tapi ingat, Adi,” suara Pak Rukman akhirnya melembut, “integritas itu tetap nomor satu. Jangan sampai gelar apa pun yang kau punya, entah Honoris Causa atau gelar yang didapatkan dari belajar keras, hanya jadi hiasan. Ilmu itu untuk dipraktikkan, bukan untuk dipamerkan.”
Adi mengangguk pelan, tersenyum lebar. “Setuju, Pak. Ilmu bukan untuk dijual di pasar gelar.”
Dan sore itu, dalam percakapan yang penuh satir namun penuh makna, keduanya belajar bahwa gelar bukanlah segalanya. Di dunia yang semakin terdistorsi oleh kekuasaan dan uang, tetap ada nilai yang tak bisa dibeli—integritas, ketulusan, dan keinginan untuk terus belajar, bukan demi nama, tapi demi kehidupan yang lebih baik. (*)