Salah Administrasi
Cerpen
WA Wicaksono
Angin sore berdesir lembut di halaman, menyapu daun-daun sawo kering yang gugur dengan irama yang terasa melankolis. Di dalam rumah, suara-suara rendah para tamu mulai terdengar. Yayan duduk bersandar di kursi kebesarannya dengan dada penuh rasa kebanggaan yang membuncah. Menteri Yayan, begitulah sekarang orang memanggilnya. Sejak pelantikannya sebagai Menteri beberapa pekan lalu, hidupnya berubah drastis. Dari politisi menjadi salah satu pemangku kebijakan negara. Seperti banyak mimpi yang dijanjikan para juru kampanye, tapi kali ini bukan janji palsu. Dan entah kenapa, kenduri selamatan peringatan wafatnya orang tuanya kali ini terasa lebih bermakna.
Di hadapannya, undangan kenduri dengan kop kementerian yang ia pimpin tersusun rapi. “Undangan resmi,” pikirnya sambil tersenyum kecil. Undangan itu tersebar kepada seluruh tokoh masyarakat—bukan hanya tokoh kampung, tapi juga pengusaha, pejabat, dan elit yang dulu hanya bisa dilihat dari jauh. Bagaimana tidak bangga? Nama Yayan kini tertera sejajar dengan kementerian. Jabatan adalah mahkota, dan kini ia menyambut tamu dengan mahkota itu.
Namun, di balik keramaian yang sopan, tiba-tiba mulai terdengar bisik-bisik yang menyakitkan telinga. “Kenapa undangan kenduri pakai kop kementerian?” tanya salah seorang tamu. “Ini urusan pribadi kan? Bukan negara.”
Yayan, yang sedari tadi sibuk menerima ucapan selamat dan doa dari para tamu, pura-pura tak terlalu memperhatikan. Namun di pikirannya bisik-bisik itu kian menggema. “Jangan-jangan pakai uang rakyat buat kenduri, ya?” Telinga Yayan mulai menangkap celotehan yang menyakitkan, tapi mulutnya tetap tersenyum agar Nampak penuh kesabaran.
Sayangnya, kabar itu menyebar lebih cepat daripada nasi berkat yang dibagikan. Secepat jari-jari wartawan merangkai narasi di layar ponsel mereka. Beberapa hari kemudian, koran-koran menampilkan headline yang tajam: “Menteri Yayan Langgar Etika, Gunakan Surat Resmi untuk Urusan Pribadi.” Yayan yang awalnya merasa kendurian ini sebagai bentuk syukur kini merasa terpojok. Dunia serasa berbalik. Dari mana datangnya angin badai ini? Apa yang salah dengan sedikit kebanggaan?
Segera Yayan menggelar konferensi pers untuk mengklarifikasi maslah itu di depan wartawan. Yayan berdiri dengan ekspresi seolah-olah sedang mengajukan permohonan maaf paling tulus yang pernah ada di muka bumi. “Ini adalah kesalahan administrasi,” katanya datar, “Staf saya yang kurang teliti. Saya terlalu sibuk dengan urusan negara, sehingga tak sempat memeriksa semuanya. Saya minta maaf.”
Namun, publik sudah lebih bijak, atau setidaknya merasa lebih bijak dari pejabatnya. Mereka tahu, ini bukan soal salah ketik atau salah kirim. Ini soal etika, yang bagi mereka adalah pedoman sakral. Mereka mencibir di media sosial. “Kesalahan staf? Atau kesalahan yang sengaja dibiarkan?” “Sibuk mengurus negara atau sibuk mengurus kepentingan diri?” Suara-suara semakin lantang.
Seorang warga di pinggiran kota, yang tak pernah diundang kenduri Yayan, hanya bisa menghela napas. “Ah, wajar saja,” katanya di warung kopi. “Kalau wakil presiden bisa jadi kandidat karena melanggar etika, kenapa menteri tidak bisa? Wakil presiden kencing berdiri, menteri kencing berlari!” Gelak tawa mengiringi.
Yayan, yang ada di balik layar tersenyum getir, tahu betul bahwa politik adalah permainan persepsi. “Orang akan lupa,” pikirnya. Dan memang, beberapa minggu kemudian, isu itu mulai meredup, tenggelam oleh berita skandal yang lebih segar. Tapi Yayan, di setiap kendurian, mungkin akan selalu teringat bahwa dalam politik, sering kali masalah bukan karena salah administrasi, tapi karena salah perhitungan.
###